Posted by : Unknown Selasa, 27 Januari 2015


Hari telah berlalu begitu cepat, setidaknya bayanganku soal Tommy sudah mulai memudar, ia mungkin tidak tahu bagaimana cara menghubungiku dan mungkin juga ia sudah benar-benar lupa akan diriku dan menggatikannya dengan Vreya.
Begitu sampai di pintu gerbang, rasanya sedikit gugup. Beberapa gadis perempuan menyapaku terlebih dahulu, mungkin karena aku terlihat ‘baru’ dimata mereka. Aku coba berbaur diantara mereka dengan bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris.
Sepertinya beberapa bulan disini akan membuatku lupa bagaimana caranya bersifat sinis. Bagaimana tidak, setiap kali berpapasan dengan siswa lain aku terus menerus tersenyum dan membungkukan badanku, tapi entah mengapa sepertinya itu terapi yang dapat mengubah diriku ke masa-masa dulu sebelum hal ‘itu’ terjadi.
 Aku mulai masuk kelas pertama, seperti layaknya sebuah tradisi aku berdiri didepan kelas untuk memperkenalkan diri, tatapan seluruh siswa disana semuanya sama, namun hanya ada satu yang benar-benar menusuk tepat ke arahku. Benar, dia adalah pria yang menabrakku 2x kemarin. Mengapa dia harus ada disini? Mengapa harus sekelas denganku? Seolah-olah dunia ini sangat sempit.
Fujiko sensei (sensei; orang yang dihormati) mempersilahkanku duduk, tepat didepan pria asing itu. Benar-benar menyebalkan, kenapa harus disana kursi yang kosong? Aku merapikan catatanku, sebisa mungkin lebih beradaptasi dengan suasana kelas di Jepang. Tidak banyak berubah dari sekolahku dulu, hanya saja disini terasa lebih dingin, terlebih posisiku saat ini tepat dipinggir jendela besar yang dipenuhi embun di seluruh permukannya.
“Ternyata kau masih sekolah? Bagaimana dengan om yang kemarin?” Seseorang dari belakang berbicara dalam bahasa Indonesia, mendongakkan kepalanya tepat kepinggir badanku.
“Kaneki-kun!” tampaknya Fujiko-sensei telah memperingatkannya karena kelas benar-benar telah dimulai. “Haii..” suara pria itu terdengar sedikit kesal. Aku coba mengikuti pelajaran dengan cukup baik, entah mengapa rasanya disini benar-benar membuatku lebih baik. Dan satu hal lagi, nama pria itu adalah Kaneki.
Awalnya aku kira disini hanya tempat untuk melampiaskan kekesalanku, namun setelah dijalanai, aku mulai merasa seperti air yang mengalir, tenang dan tidak tenggelam. Lebih nyaman dari yang kubayangkan.
“Bagaimana hari pertamamu di sekolah Rifka? Apakah menyenangkan?” Tanya Papa berantusias sambil membukakan pintu mobilnya agar aku segera masuk.
“Hmm, tentu. Tapi pa, apa kau tahu? Orang yang memanggilmu om ternyata sekelas denganku.”
“Lalu bagaimana?”
Aku bercerita banyak pada Papa tentang hari ini, entah mengapa aku jadi banyak bicara. Tunggu, sepertinya otakku benar-benar mengalami kesalahan. Tapi entah mengapa aku menyukainya. Suasana baru memang dapat merubah segalanya.
***
Keesokan harinya aku memulai hari-hari normalku lagi, beberapa teman wanita yang kemarin mendatangiku secara bersamaan kali ini mereka melakukannya lagi. Tentunya aku sama sekali tidak ingat nama mereka. Nama-nama dari bahasa Jepang memang sulit untuk aku ingat, untungnya tanpa diberi aba-aba mereka coba perkenalkan diri mereka masing-masing lagi.
“Kaneki, chotto.” (Chotto; tunggu)
Gadis yang sama ketika aku keluar dari kedai berlari mengejar Kaneki, ketika tepat dihadapanku ia berhenti seolah aku adalah ranjau berduri yang membuatnya berhenti tak meneruskan langkahnya.
“Omae.” (Omae; kamu) gadis itu menunjuk-nunjukan jarinya tepat kearahku dengan berusaha menyatukan kedua alisnya yang terpisah, tak lama ia menurunkan lengannya, menghilangkan kerutan di keningnya lalu kembali mengejar pria yang kemungkinan besar adalah Kaneki.
“Apa kalian mengenalnya? Maksudku gadis itu?” Aku coba bertanya pada teman-teman baruku.
“Ya, tentu. Dia adalah anak dari pemilik sekolah ini. Meskipun begitu dia sangat manja terlebih pada Kaneki. Namanya Aoi Fukawa.”
“Bagaimana dengan Kaneki?” aku coba menanyakan hal yang sepertinya tidak perlu.
“Kaneki itu memiliki silsilah keluarga yang rumit, dia memiliki 2 Ayah. Orang-orang tidak banyak tahu mengenai cerita keluarganya. Mereka cenderung menutup nutupinya, tapi sepertinya Ibu Kaneki benar-benar hebat memiliki 2 suami sekaligus.” (Baca Futago) Jelas Sayaka
“Benarkah itu?” tanyaku yang sangat penasaran mengenai cerita kehidupannya.
“Tentu.” Jawab Kyoko singkat. Gadis berkaca mata itu semakin mempertegas penyataan Sayaka.
Sepertinya cerita itu memang benar adanya, kalau benar-benar itu terjadi sepertinya dia lebih beruntung. Andai orang tuaku tidak bercerai layaknya orangtua Kaneki, dan setidaknya aku bisa seolah-olah tidak merasakan adanya Randi dalam kehidupanku.
Bel masuk telah berbunyi, hari ini dipelajaran pertama adalah olahraga. Dengan semangat ’45 aku menuju gedung olahraga bersama Sayaka, Kyoko dan yang lainnya. Entah mengapa setibanya di ruang olahraga aku baru sadar bahwa aku tidak memiliki kemampuan apapun dibidang olahraga. Langkah kakiku yang riang, begitu tiba disana lebih kaku dari biasanya, entah itu dingin karena cuaca yang tak bersahabat atau aku baru sadar aku benar-benar tidak pandai olahraga?
Matsuda-sensei meneriaki namaku dan Kaneki untuk bertugas piket di minggu ini, membawa bola di gudang belakang gedung olahraga. Sial, kenapa harus Kaneki? Aku tidak ingin ada percakapan yang membuatku terlihat konyol dengannya.
“Rifka, Can you hear me?” Matsuda sensei berteriak lebih kencang
“Haii, haii.” Tanpa sadar aku ikut-ikutan berbicara bahasa Jepang.
Aku membuntuti Kaneki dari belakang, entah kenapa raut mukanya kali ini terlihat lebih dingin, dan satu hal lagi. Ia sama sekali tidak membahas tentang Papa.
Begitu keluar dari gedung olahraga rasa dinginnya semakin terasa menusuk. Meskipun begitu Kaneki tidak terlihat menggigil. Ia sama sekali tidak banyak bicara bahkan ia sepertinya tidak menyadari keberadaanku yang sedari tadi ada di sebelahnya. Bahkan ia hampir membawa troli besi berisi bola basket sendirian. Sedikit heran atas tingkah lakunya, namun sepertinya ia sedang mengalami masalah yang cukup besar.
Tumpukan salju menghiasi sepanjang koridor menuju gedung olahraga. Seraya membawa troli besi berisi bola basket, aku mengagumi gumpalan kapas putih yang sebagian bertebaran sebagian lagi telah menumpuk. Tadi pagi belum ada salju turun, dan ini pertama kalinya aku melihat salju. Benar-benar mengagumkan.
Rasa kagumku berhenti ketika harus berbelok menuju gedung olahraga. Hingga tiba disana, Kaneki sama sekali tidak berbicara padaku. Pandangannya kosong, aku semakin penasaran dengan apa yang dipikirkannya. Terasa aneh ketika biasanya ia mengejekku tiba-tiba diam membisu.
Aku mengikuti teman-teman lain yang tengah melakukan pemanasan, meskipun aku tidak tahu untuk apa melakukan pemanasan, toh pada akhirnya aku lebih memilih ijin berdiam diri dibanding melukai teman-temanku karena permainanku yang payah.
Mataku tetap tertuju pada Kaneki, sesekali ia tersenyum tapi senyumnya seperti hambar. Mungkinkah ia mengalami masalah dirumahnya? Jika itu yang terjadi aku akan sangat khawatir padanya, karena aku sendiri sempat mengalami hal menyedihkan itu.
Peluit tanda permainan telah dimulai. Ketika aku akan menjelaskan situasinya pada Matsuda sensei, sebuah bola basket meluncur tepat kearahku. Seperti biasa, sulit sekali untuk menghindarinya, kakiku terasa benar-benar kaku apalagi mungkin rasa dingin yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ketika aku sudah menutup mata dan menunggu hantaman bola, tiba-tiba lenganku dicengkram dengan erat. Cengkraman ini rasanya sudah pernah aku dapatkan.








***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 シズカ 近松's Blog ^^ - Ore no Imouto - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -