Posted by : Unknown Rabu, 28 Januari 2015


“Lalu, kenapa kau pergi pagi sekali? Bukankah ini terlalu pagi untukmu?” Aku memulai pembicaraan pertama diatas sepeda motor miliknya.
“Aku memang sudah terbiasa pergi di pagi buta. Hanya ini waktu tenangku tanpa Aoi.” Balasnya sedikit dingin entah memang cuacanya sedang sangat dingin.
“Kalian sangat dekat, mengingatkanku pada Tomy dulu.” Tiba-tiba aku mengatakan hal yang tak seharusnya aku katakan.
“Tommy? Siapa Tommy?” Tanya Kaneki sambil memalingkan wajahnya dari jalanan dan coba menoleh ke arahku. Karena terhalang oleh helm miliknya, akhirnya ia amenyerah dan kembali memfokuskan pada jalanan didepan kami.
“Dia teman dekatku sejak kecil. Kemanapun ia pergi aku selalu bersamanya, hanya saja itu tidak bertahan lama. Belakangan ketika ia mulai dekat dengan sahabatku Vreya, ia memutuskan tak pernah mengajakku. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama Vreya. Menyedihkan bukan?” Tanyaku yang sedikit menggigil.
“Tidak juga.” Balasnya semakin dingin. Setelah beberapa saat akhirnya Kaneki buka mulut. “Kalian hanya berteman bukan? Wajar saja jika dia menyukai wanita lain. Bagitu itu bukan masalah besar.” Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Kaneki barusan. Saat aku tengah melamun, Kaneki kembali membuka mulutnya.
“Kau kedinginan bukan? Masukan tanganmu kedalam saku jaketku. Kau ini benar-benar bodoh ditengah salju begini keluar tanpa sarung tangan.”
“Tapi..” Aku coba mencari alasan agar hal itu tidak sampai terjadi. Membayangkannya saja sudah membuat aku mati rasa.
“Asalkan kau harus traktir aku secangkir coklat panas.” Lanjut Kaneki, entah bagaimana rasanya, hanya saja ia selalu mampu mencairkan suasana. Akhirnya aku mengalah dan memasukan tanganku kedalam saku jaketnya.
“Lalu, bagaimana ceritamu dengan Aoi?” Aku kembali melontarkan pertanyaan yang kurasa tidak penting baginya. Tapi kurasa akan sangat penting untukku. “Jadi, bisakah kau menceritakannya padaku?”
“Emm, Tentu.” Kaneki sepertinya sedikit tersenyum seakan menggambarkan kebahagiaannya dulu. “Awalnya aku menyukai fotografi, mungkin karena setiap orang yang melihat hasil potretanku selalu memuji hasilnya. Mungkin itu bakat alami yang diberikan Otou-san padaku.”
“Lalu, apa hubungannya dengan Aoi?” Aku sedikit kebingungan atas intro dari alur ceritanya.
“Saat masih kecil aku bertemu degan Aoi, dia tengah menangisi kucingnya yang tak bisa turun dari atas pohon. Aku coba membantunya dengan naik hingga ke puncak pohon tersebut. Namun ketika sampai dipuncak pohon, dahan yang kunaiki tiba-tiba patah dan membuatku terjatuh cukup tinggi. Namun sesaat sebelum terjatuh aku berhasil menyelamatkan kucing Aoi dan memeluknya. Aku menahan tubuhku dan si kucing dengan tangan kananku dan alhasil tanganku benar-benar  patah. Aku cepat dilarikan ke Rumah Sakit untuk melihat seberapa parah kerusakan yang diakibatkannya. Pada akhirnya tanganku harus dibebat selama sebulan. Sebulan berlalu, aku sangat berantusias memegang kembali kamera yang sudah kubiarkan sebulan lamanya. Namun sejak saat itu, tanganku tak pernah berhenti bergetar ketika memegang kamera. Meskipun dinyatakan sembuh namun tanganku tetap sulit dikendalikan.”
“Lalu, bagaimana dengan Aoi?” Tanyaku semakin penasaran akan ceritanya.
“Tentu saja dia merasa bersalah. Dan sejak saat itu dia tak pernah membiarkanku lepas dari pandangannya. Aku sudah bilang berulang kali padanya, namun dia tetap merasa bersalah. Kadang aku berpikir, apakah harus aku membuat tangannya patah agar kami impas? Namun itu benar-benar konyol Iya kan?”
Sepertinya ia mulai mengeluarkan jurus humornya.
“Bisa saja kau lakukan jika ingin benar-benar lepas darinya.” Jawab ku yang tak ingin kalah bergurau dengannya.
“Baiklah, akan ku lakukan.” Jawabnya datar seolah dia benar-benar akan melakukannya.
“Kau bercerita cukup panjang lebar, aku tak menyangka pria yang disebut-sebut dingin seperti es dapat berbicara banyak padaku.” Aku mencoba memberikan tawa diujung argumenku.
“Siapa bilang aku sedingin es?” Tanyanya kembali serius.
“Teman-temanku. Tak banyak wanita yang kau ajak bicara, tapi ini sudah terlalu banyak kau bicara. Dan sepertinya anggapan mereka memang salah. Bahkan kau menyelamatkanku tadi.”
“Kebanyakan orang memang menilai seseorang dari luarnya saja.” Jelas Kaneki.
“Ada 1 pertanyaan lagi. Kau masih mau menjawabnya?” Ini memang pertanyaan yang sangat membuatku penasaran.
“2 coklat panas.” Nada bicaranya seakan ia sedang tersenyum.
“Baiklah. Emm matamu tidak seperti orang Jepang kebanyakan, meskipun namamu terdengar sangat-sangat Jepang sekali. Bahasa Indonesiamu juga cukup lancar meskipun Bahasa Jepangmu jauh lebih lancar. Sebenarnya bagaimana kau menjelaskan semuanya?” Aku rasa Pertanyaan yang dilontarkan cukup banyak, tapi aku benar-benar penasaran dibuatnya.
“Ayahku orang Indonesia. Oka-san orang Jepang. Ayah sudah lama tinggal di Jepang sebagai kepala Rumah Sakit. Aku lebih banyak mengenal budaya Jepang tapi aku selalu diajari bagaiman berbahasa Indonesia yang baik, karena Oka-sam juga sudah lama tinggal di Indonesia.”
“Oh begitu ya.” Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiranku. Dia memanggil Ayahnya dengan kata ‘Ayah’ sedangkan memanggil Ibunya dengan sebutan ‘Ibu’ tapi tadi kalau tidak salah ia menyebut bakat photography-nya berasal dari ‘Otou-san’ jadi mungkinkah yang dikatakan teman-teman itu benar adanya?
“Kau sangat penasaran dengan hidupku. Hahaha” Dia tertawa cukup kencang membuatku tiba-tiba tersadar bahwa muka ku kini memerah. Sial kenapa juga aku harus bertanya hal pribadi? Ah damn
Kami akhirnya tiba di sekolah. Suasananya masih cukup sepi namun beberapa kantin sudah dibuka. “Ayo! Coklat panas menungguku.” Kaneki berjalan tanpa diberi aba-aba. Ia segera bergegas menuju kantin yang menjual coklat panas. Belum juga aku sampai dia sudah memesan 2coklat panas. Bocah sialan, aku kira dia hanya bercanda ingin mendapat 2 coklat panas. Ternyata dia benar-benar serius.
Ibu kantin tadi telah menyajikan 2 coklat panas diatas nampan. Dengan sigap Kaneki mengambilnya dan menyuruhku untuk membayarkan pesanannya. Benar-benar pria menyebalkan. Tapi apa boleh buat, sepertinya itu setara dengan misi penyelamatannya tadi pagi.
Dia duduk disebuah meja tak jauh dari lokasi dimana aku berdiri. Tiba-tiba tangannya melambai seakan memberikan kode bahwa aku harus menemaninya disana. Aku duduk tepat disebrangnya, ia tampak menikmati coklat panas yang baru saja dituang kedalam cangkirnya. Oh tidak, melihatnya menikmati coklat panas membuatku ingin membelinya juga.
Tak ada percakapan disana, aku berencana untuk membeli coklat panas yang sama. Dan ketika aku beranjak dari tempat dudukku, Kaneki menggenggam lenganku dan menyodorkan coklat panas yang belum ia minum.
“Ini untukmu.” Setelah memberikannya padaku, ia melepaskan lenganku dan kembali meneguk coklat panas miliknya.
“Kau seharusnya menjawab ‘arigatou’ .“ Dia mulai mengguruiku, tak lama ia kembali menyesapnya. Sedikit menggelikan melihat tingkah lakunya yang dirasa sedikit kekanak-kanakan, meskipun aksi heroiknya memperlihatkan ia seperti lelaki dewasa. Namun sikapnya kali ini membuatku tertawa geli.
“Arigatou.” Aku coba mengucapkannya dengan sedikit geli dan akhirnya ia tertawa. Tawa yang membuatku kembali terdiam mematung dan membuat jantungku terpompa lebih cepat.








***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

{ 2 komentar... read them below or Comment }

  1. Kha, ditunggu part 7 nya hehe :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, sangkyu udah mau baca xD
      sekarang di post nih part 7 nya :D

      Hapus

- Copyright © 2013 シズカ 近松's Blog ^^ - Ore no Imouto - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -