Posted by : Unknown
Selasa, 27 Januari 2015
Akhirnya
aku tiba di salah satu bandara setelah beberapa jam berada diatas langit. Ini pertama kalinya aku
menginjakan kaki di Jepang. Bandara Haneda ini merupakan lokasi pertama sebagai tempat pelarianku. Meskipun Papa warga negara asli Jepang, namun ini
pengalaman pertamaku setelah 17tahun lahir ke dunia. Setelah beberapa meter
berjalan menjauh dari pesawat seseorang bertubuh tinggi dengan badan yang cukup
kekar menabrakku dengan cukup kencang.
“Aduh.”
Teriakku cukup kencang, dia menabrakku hingga duduk dilantai.
“Ahh ano, tsumimasen.” (tsumimasen; maaf) dengan sigap ia kembali membantuku merapikan
barang-barang yang sedikit berceceran. Selagi merapikan barangku, tak sengaja
aku menatap matanya. Tidak seperti orang Jepang kebanyakan, meskipun aku tahu
sepertinya ia penduduk asli di Jepang dari caranya berbicara. Aku tidak bisa
berkata apa-apa karena sama sekali tidak bisa berbahasa Jepang. Setelah selesai
dia membantuku berdiri, kami sama-sama berdiri dan akhirnya aku tahu tingginya
kurang lebih 10senti lebih tinggi dibandingku yang hanya 162senti, kemudian ia
mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Jepang dan dengan cepat ia berlalu.
Aku berdiri
perlahan, rasanya kakiku sedikit terkilir. Belum apa-apa aku sudah diberi
kenangan buruk oleh warga Jepang. Benar-benar menyebalkan. Ketika tengah
merasakan rasa sakit yang mulai menjalar, seorang wanita menghampiriku dan coba
menekan pergelangan kakiku dengan hati-hati. Ajaibnya kakiku perlahan tidak
terasa sakit, wanita itu kembali berdiri kemudian tersenyum dan menghilang
setelah beberapa saat.
Sedikit heran
tapi rasanya kakiku benar-benar bisa digerakan lagi. Syukurlah. Aku kembali
berjalan-jalan mencari Papa yang sudah berencana untuk menjemputku. Sedikit
khawatir melihat orang-orang yang memiliki wajah yang mirip dengan Papa. Namun
kekhawatiranku akhirnya terpecahkan.
Seorang pria
melambai-lambai tepat kearahku. “Rifka..” dan dia juga memanggil namaku. Yah,
itu papa. Meskipun papa orang Jepang asli tapi aku sama sekali tidak
diperbolehkan belajar Bahasa Jepang oleh Mama, entah apa alasannya yang jelas
itu sedikit mempersulitku tadi, tapi syukurlah berkat adanya Papa kesulitanku
sedikit berkurang.
Papa
menyambutku dengan riang, sebenarnya bisa dibilang papa lebih mengerti
dibanding Mama. Setelah perubahanku yang cukup drastis, yang pertama
menyadarinya adalah Papa. Dia tampak lebih terpukul begitu sadar aku telah
berubah dan terus menerus menyalahkan dirinya, akhirnya setelah rasa kasihan
pada Papa mulai merasuki pikiranku, dibantu dengan Tommy yang perlahan
menyadarkanku, akhirnya perlahan kutinggalkan kebiasaan burukku meski tak
sepenuhnya aku tinggalkan.
“Rifka kenapa
kau lama sekali? Papa menunggumu dari tadi.”
“Maaf Pa, tadi
ada orang sialan yang menabrakku dengan cukup kencang.”
“Siapa nak?”
Papa bertingkah seolah akan benar-benar menghabisi orang yang menabrakku tadi.
“Sudahlah,
lupakan Pa. Aku sudah lelah, bisakah kita pulang sekarang?”
“Baiklah, tapi
sebelum itu kita makan malam dulu.” Papa menggandeng tanganku seolah aku adalah
kekasihnya. Umur Papa memang tak lagi muda, namun dilihat dari penampilan dan
wajahnya, bisa dibilang tidak berbeda jauh denganku. Hanya saja dia berkumis.
Kami tiba di
sebuah kedai di dekat bandara, meskipun hanya kedai biasa tapi cukup rapi dan
bersih. Kami membeli sup miso disana, meskipun kelihatannya lidahku belum bisa
beradaptasi namun cita rasanya yang menggairahkan membuatku dapat menghabiskan
semangkuk sup miso tak bersisa. Papa sesekali melirikku, namun aku tak
menghiraukannya. Rasanya ini menjadi poin pertama untuk kedatanganku di Jepang.
Setelah cukup
mengganjal perut, akhirnya kami bergegas pulang namun saat kami hendak keluar,
seorang pria kembali menabrakku.
“Aw sialan,
ini kedua kalinya dalam sehari.” Tak sadar aku mengekspresikan kekesalanku
dengan cukup keras. Papa dengan sigap membantuku berdiri, pria yang menabrakku
kali ini, tunggu, dia orang yang sama yang telah menabrakku di bandara. Sialan,
orang ini sepertinya benar-benar cari mati.
“Maaf, aku
benar-benar tidak sengaja. Kali ini pun tidak sengaja” Pria tadi sepertinya
mengenaliku, orang yang ditabraknya saat di bandara. Dan kali ini dia fasih
berbahasa Indonesia.
Papa tiba-tiba
memotong “Sepertinya dia tidak apa-apa.” Pandangan pria itu beralih memandangi
Papa, raut mukanya sedikit berubah dari cemas menjadi sedikit marah. Meskipun
bukan ahli tebak fikiran tapi aku dapat memprediksinya. Tunggu, marah? Kenapa?
“Hei, kamu
sebaiknya ikut denganku. Kau tidak boleh sembarangan ikut dengan pria asing
ini. Berbahaya tiba-tiba berkenalan dengan om ini.” ucap orang asing itu pada Papa. Saat ini tangannya
menggenggam tanganku. Sesekali aku melihat raut muka Papa yang tampak jengkel,
tapi aku benar-benar menikmati adegan ini. Benar-benar konyol.
Saat menikmati
adegan itu, mataku berpaling pada wanita yang sedari tadi menemani pria itu, ia
tampak sedikit kesal dan juga bingung karena adegan ini diperankan dalam bahasa
Indonesia. Tunggu, ini sepertinya adegan dalam opera sabun. Aku tak kuasa
menahan tawa dan akhirnya aku berhasil meluapkannya. Dengan cepat aku
melepaskan genggaman pria tak dikenal tadi dan mendekat kearah Papa, dengan
menarik lengan Papa aku berlalu sambil mengucapkan “Memangnya apa pedulimu?”
Kami akhirnya berlalu meninggalkan pria tak dikenal itu, meskipun sebenarnya
aku benar-benar masih ingin mempermainkan Papa.
Kami memasuki
mobil, sepertinya Papa masih merasa kesal atas apa yang diucapkan pria asing
tadi. Tapi dengan segera aku mencari topik baru.
“Papa, aku
tidak bisa berbahasa Jepang, bagaimana aku sekolah nanti?”
“Tenang saja,
Papa sudah dapatkan sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa standar,
aku tahu bahasa Inggrismu selalu diatas rata-rata bukan?”
“Tentu saja.”
“Kau akan
mulai masuk kapan? Besok?”
“Oke, aku
sudah tidak sabar menantikannya Pa!”
Aku menikmati
perjalanan malam di kota Tokyo, sepertinya semakin malam bukannya semakin sepi,
malah semakin ramai. Sepertinya tinggal disini akan menyenangkan.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'