Posted by : Unknown
Selasa, 27 Januari 2015
Angin sore kali ini terasa lebih
dingin, mungkin karena beberapa jam yang lalu hujan menyapu sekitar rumahku.
Perlu waktu beberapa saat untuk bangun, hingga akhirnya aku benar-benar duduk
diatas tempat tidur yang terasa lebih lengket dari biasanya. Aku memandangi jam
dinding yang menggantung tepat di sebrang tempat tidurku. Pukul 3, sebentar
lagi aku harus benar-benar berangkat.
Aku
menurunkan kakiku perlahan hingga menyentuh lantai yang sigap menopang tubuhku
yang lebih berat akhir-akhir ini. Mungkin karena terlalu banyak memikirkan
hal-hal yang tidak perlu, akhirnya aku melampiaskannya dengan memakan cemilan
yang tersedia dalam kulkas, dan efek yang dihasilkannya, jelas tubuhku lebih
berat dari biasanya.
Perlahan-lahan
aku berjalan menjauh dari kamarku yang sebentar lagi takkan kuhuni lagi.
Rasanya sedikit berat untuk melangkahkan kaki dan bersiap-siap pergi. Disini
aku telah hidup selama 17 tahun, dalam sekejap aku harus pergi, dan kemungkinan besar takkan kembali. Dengan
langkah gontai aku berusaha menyembunyikan rasa malasku dan bersiap-siap pergi.
Satu
persatu ku turuni anak tangga yang menghubungkan kamarku dengan ruang keluarga.
Sekilas aku melihat kearah dapur karena suara yang ditimbulkannya. Mama sedang
memasak. Entah apa yang kali ini ia buat, makanan perpisahan mungkin?
“Ah
Rifka, kau sudah bangun? Sebentar lagi masakannya selesai. Kau bisa mandi
sambil menunggu.” Seolah tak menghiraukannya, aku bergegas memasuki kamar mandi
sesegera mungkin. Airnya terasa lebih dingin dari biasanya, setidaknya cukup
untuk membangunkanku.
Setelah
selesai aku kembali ke kamar dan memilih baju mana yang harus ku pakai,
akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan kaus biru dan celana jeans pendek
dengan beberapa robekan di ujungnya. Aku ingat, waktu itu aku sengaja
merobeknya ketika frustasi mendengar perceraian kedua orang tuaku tahun lalu.
Pakaianku dulu semuanya terlihat normal hingga hal itu terjadi. Ingin sekali
melupakan kejadiaan yang tak seharusnya terjadi dengan pergi bersama
teman-teman, namun ketika aku coba bergabung, semuanya menertawakanku. Kaos
yang kebesaran dan celana panjang sepertinya menjadi bahan lelucon untuk
mereka, dan tanpa pikir panjang aku merobeknya tepat didepan mereka dan
akhirnya aku bisa diterima. Ketika sampai dirumah, tak satupun dari mereka yang
benar-benar melihatku, akhirnya aku melakukan hal itu setiap hari. Rasanya
sedikit rindu mendengar mereka memarahiku namun hal itu takkan pernah terjadi
lagi.
Tiba-tiba
suara handphone mengaburkan ingatanku yang tengah kembali ke masa lalu. Sebuah
pesan masuk dari Tommy. Aku melihatnya sekilas dan kembali melemparkan benda
itu ke tempatnya semula. Setelah semuanya siap aku bergegas menuju mobil yang
terparkir di halaman rumah dan memasukan semua barang-barang yang sudah aku
kemas.
“Rifka,
sebelum pergi kau harus makan dulu. Mama sudah menyiapkannya untukmu.” Dari
mulut pintu terlihat Mama berteriak semangat layaknya tim chearleader di
sekolah. Entah harus aku abaikan permintaannya kali ini atau aku menurutinya,
itu menjadi dilema yang cukup besar. Entah mengapa bisikan untuk kembali dan
menyantap sedikit makanan yang telah Mama buat, merupakan keputusan yang kurasa
harus diambil.
Dengan
enggan aku melangkahkan kaki kedalam rumah untuk menyantap makanannya. Selama
makan tidak ada percakapan yang cukup berarti. Aku lebih banyak mengangguk dan
menggelengkan kepala hingga akhirnya aku sadar makanan yang ada telah
menghilang begitu saja. Setelah dirasa cukup, akhirnya aku kembali ke arah mobil yang sedari tadi setia
menungguku dan bergegas memasukinya.
Mama
memulai percakapan sambil menarik sabuk pengaman yang ada di pundaknya. “Apa
kau benar-benar ingin pergi?”. Pertanyaan itu lebih sering terdengar
akhir-akhir ini, dengan lantang aku menjawab “Tentu Ma. Aku benar-benar ingin
tinggal disana bersama Papa.” Dengan tatapan yang sedikit khawatir akhirnya
Mama mengangguk perlahan. “Baiklah kalau begitu, aku percaya kau akan baik-baik
saja bersama Takao”
Mama
mengantarkanku ke bandara, ia berada dibalik kemudi sedangkan aku berada
disampingnya. Jendela mobil kubiarkan terbuka, agar untuk terakhir kalinya aku
menghirup udara di Bandung ini. Sesekali aku mengeluarkan tanganku dan coba
meraih sesuatu yang tak pernah bisa ku genggam.
Setelah
beberapa jam melalui perjalanan akhirnya aku tiba di bandara, pertanyaan yang
sama Mama lontarkan kembali.
“Ini
yang terakhir sebelum kau pergi. Benarkan kau yakin ingin tinggal bersama
Papa?”
“Emm,
aku ingin coba sesuatu yang baru, rasanya sudah bosan melakukan hal yang sama
setiap saat.”
“Bagaimana
dengan Tommy? Bukankah kalian sudah berteman sejak kecil? Mungkin dia akan
sangat merasa kehilangan”
Salah
satu alasanku untuk pergi adalah karena dia. Tommy, orang yang paling lama
menghabiskan waktu denganku benar-benar
membuatku kecewa. Aku melihatnya menggandeng sahabatku sendiri, Vreya. Aku
sedikit menjauh dari mereka berdua dan ketika Tommy benar-benar mendesakku
akhirnya aku buka mulut mengenai janji kami sewaktu masih kecil. Kami telah
berjanji untuk menikah suatu saat nanti, namun nyatanya ia benar-benar
mengkhianati janji yang kami buat dengan alasan “Itu hanya omong kosong, kita
membuatnya saat masih kecil sebelum aku tahu apa artinya semua itu.” Kata-kata
itu yang selalu memberikan dorongan agar aku pergi dan bisa melupakannya.
“Rifka?”
Ibu benar-benar membangunkanku dari lamunan kelam, entah mengapa akhir-akhir
ini aku lebih sering melamun.
“Bu..
bukan, bukan karena itu.”
“Maksudmu
nak?” Mama tampak heran dengan jawaban yang begitu saja terlontar dari mulutku.
“Oh,
tadi mama bilang apa?” Aku coba mengulangi pertanyaannya.
“Sudahlah
lupakan, Rifka maafkan mama karena tidak bisa mengantarmu hingga Tokyo. Mama
harus bergegas menyiapkan Randi makan malam, sepertinya dia akan sangat
kelelahan hari ini.”
“Tidak
apa-apa Ma, aku bisa sendiri.”
Alasan
kedua untukku pergi adalah karena kehadiran Randi. Bukan, maksudku Ayah tiriku
yang beberapa hari ini telah tinggal bersama kami. Itu yang menjadi alasan
keduaku untuk benar-benar pergi meninggalkan Bandung.
Langit
berwarna kuning keemasan, sedikit lebih hangat dibanding saat dirumah. Akhirnya
dengan latar seperti inilah aku harus berpisah dengan Mama dan berharap
kehidupan disana akan jauh lebih berbeda dibanding dengan keadaan disini. Aku
melambaikan tangan dan satu persatu menaiki tangga yang mengarah kedalam
pesawat. Semoga penerbangannya menyenangkan.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
bagus banget ga bsa berhenti bacanya dari awal
BalasHapusManufaturing Estate