Posted by : Unknown
Selasa, 27 Januari 2015
Dalam
sepersekian detik, aku jatuh ke lantai. Meskipun begitu bola basket sama sekali
tidak mengenaiku. Cengkraman itu perlahan meregang. Namun rasa dingin bercampur
panasnya masih terasa. Dingin karena telapak tangannya benar-benar terasa
seperti es dan panas karena cengkramannya sangat erat.
Begitu aku
membuka mata, Kaneki menatapku dengan tatapan kesal. Mata kami saling bertemu,
untuk sesaat aku hanya melihat matanya. Mata yang memang dimiliki orang
Indonesia kebanyakan.
“Apa kau buta?
Atau kau sengaja melakukannya?” Nada suaranya terdengar begitu kencang sampai
seisi gedung sekolah hening selama beberapa saat.
“Maafkan aku.”
Aku melepaskan tangannya yang masih memegangi lenganku. “Terima kasih karena
telah menolongku.” Kyoko membantuku berdiri sambil sesekali membetulkan posisi
kacamatanya yang terlihat sudah longgar.
“Kau tidak
apa-apa?” Sayaka berlari kearahku dan juga menopangku yang sedikit terkejut.
“Teman-teman,
maafkan aku. Aku memang tidak pandai dalam berolah raga, oleh karena itu aku
akan meminta ijin pada Matsuda-sensei agar memberiku keringanan.” Aku seolah
menjelaskan situasinya pada Sayaka dan Kyoko, mereka tampak lebih mengerti, dan
menemaniku menemui Matsuda-sensei.
Dilihat dari
ujung mataku, sepertinya Kaneki merasa bersalah telah membentakku, bagaimana
tidak, meskipun sebenarnya aku berniat menjelaskan masalahku pada Sayaka dan
Kyoko namun sepertinya Kaneki berhasil mencuri dengar, dan setelah itu ia
terlihat tampak lebih terpukul.
Pelajaran olah
raga selesai, kami menuju kantin untuk membeli air mineral meskipun aku tidak
tahu kenapa aku ikut-ikutan membelinya padahal aku hanya duduk-duduk dipinggir
lapangan, meskipun sesekali aku diajari Sayaka bermain namun hasilnya
lemparanku malah mengenai anak kelas sebelah dan membuatnya meringis kesakitan.
Ketika hendak
membeli air mineral, jalanku dipotong oleh seorang pria yang sudah tidak asing
lagi bagiku. Untungnya kali ini ia tidak menabrakku dan membuatku terjatuh
seperti di bandara. Ia memberikan air minum yang baru saja ia beli tepat ke
arahku.
“Maafkan aku,
telah membentakmu. Ambillah ini sebagai tanda permintaan maafku.” Kaneki seolah
berharap lebih untuk itu. Minuman gratis apa salahnya ku ambil.
“Oke,
baiklah.” Aku mengambilnya kemudian meneguknya. “Dan satu hal lagi, dia
Papaku.” Kaneki membuat kontak pandangan yang tegak lurus kemudian tertawa
terbahak-bahak. Deretan gigi putih yang berderet rapi terlihat sangat jelas
disana.
“Benarkah
itu?” ia menghentikan tawanya kemudian merubahnya menjadi tawaan kecil yang
terdengar sedikit renyah.
“Emm.”
“Kalau begitu
sampaikan maafku padanya.” Kali ini ia terdengar lebih serius.
“Ok.”
Aku berlalu
dan menghampiri Sayaka dan Kyoko, sepertinya dua anak itu membicarakanku
diam-diam. Dan berhenti ketika aku hampir sampai pada mereka.
“Ada apa?”
tanyaku yang sedikit penasaran.
“Kau beruntung
bisa berbicara dengan Kaneki, meskipun dia populer tapi tak ada wanita yang
bisa mengobrol dengannya kecuali Aoi. Lagi pula kalian menggunakan bahasa apa
tadi? Sepertinya hanya kalian yang tau?”
“Oh, kami
menggunakan bahasa Indonesia. Tunggu, aku baru menyadarinya. Bagaimana bisa dia
berbahasa Indonesia?” tanyaku pada diri sendiri namun nyatanya aku berhasil
melontarkannya pada mereka.
“Bagaimana ku
tahu.” Jawab keduanya sambil mengangkat tangan bukti mereka tidak tahu.
Kaneki
benar-benar telah mengundang banyak tanda tanya, aku semakin tertarik akan
rahasia-rahasianya. Kepopulerannya jelas saja, dia memiliki wajah yang tampan,
tinggi nya ideal dan bisa dibilang menyaingi aktor-aktor tampan Jepang.
Hari ini Papa
tidak bisa menjemputku karena urusan di kantornya. Entah kenapa rasanya sulit
membawa sendiri kendaraan pribadi jika melihat warga sekitar yang jarang menggunakannya.
Kebanyakan dari mereka lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibanding
kendaraan pribadi oleh karena itu aku merasa malu dan lebih memilih menggunakan
kendaraan umum bersama teman-teman dibanding membawa sepeda motor yang
tersimpan di garasi.
Bus yang
menuju kerumahku telah datang. Aku beserta teman-teman yang lain segera menaiki
bus itu meskipun rasanya masih betah tinggal di sekolah. Entah mengapa tapi
sepertinya ada sesuatu di sekolah yang membuatku merasa betah. Sesekali aku
memandangi sekolah sebelum bus benar-benar pergi. Ketika aku menerawang jauh
kesana, mataku tertuju pada sosok Kaneki yang berada di pintu utama sekolah.
Disebelahnya, tentu ada Aoi yang setia menggandengnya kemanapun ia pergi.
Meskipun begitu pandangan Kaneki tepat menuju kearahku, untuk memastikan aku
melihat sekeliling dan tak ada orang lain disana. Sesaat sebelum bus
benar-benar pergi aku bersumpah melihatnya tersenyum. Senyuman yang membuatku
benar-benar tak bisa berkutik.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'