Posted by : Unknown
Rabu, 28 Januari 2015
Pagi ini aku
benar-benar semangat untuk pergi ke sekolah, entah mengapa tapi sepertinya
perasaan itu tiba-tiba muncul, setelah tiba di Jepang entah mengapa aku
berhasil membuang jauh-jauh sifat sinisku dan juga perilaku buruk yang
belakangan menguasaiku. Rasanya aku menemukan kembali ‘aku’ yang dulu.
Aku coba
menggeraikan rambutku yang biasanya aku kucir asal-asalan. Membiarkannya
terbebas seperti perasaanku saat ini. Aku berusaha tampil lebih rapi dari
biasanya. Sedikit parfum aku tambahkan untuk membuatnya lebih bergairah. Aku
mematung didepan cermin kemudian sedikit tersenyum. Beberapa detik kemudian aku
memukul-mukul kepalaku berusaha mengendalikan apa yang tengah merasukiku. Namun
ternyata perasaan itu benar-benar menguasaiku dan aku tidak mampu
menghadangnya.
“Yosh!
(Yosh;Baiklah) hari ini aku siap.” Beberapa detik kemudian aku tiba di meja
makan dan memakan beberapa roti yang ada. Papa masih belum pulang dan aku
terpaksa pergi sendiri. “Papa tega sekali membiarkan anak gadisnya sendirian di
rumah.” Aku menggerutu pada diriku sendiri. Setelah dirasa kenyang aku bergegas
menuju halte bus dan mencari bus mana yang menuju sekolahku.
Aku tiba
dengan perasaan riang, namun aku baru menyadari bahwa hari ini benar-benar sepi.
Untuk beberapa saat aku terdiam di halte dengan perasaan was-was. Dan ketika
kulihat jam yang melingkar dipergelangan tanganku ternyata waktu menunjukan
pukul 05.30, sial. Ini terlalu pagi untuk perjalanan ke sekolah. Aku coba
menghubungi Sayaka dan ternyata ia baru bangun. Bagaimana ini? Lelah sekali
rasanya jika harus kembali ke rumah.
Akhirnya aku
memutuskan untuk menunggu hingga bus datang. Untuk beberapa saat seisi kota
terlihat aman, namun beberapa pria dengan bekas luka datang bersamaan. Jantungku
semakin berdegup kencang, hingga rasanya lututku benar-benar tak bisa menopang
badanku. Oh tidak, mereka datang ke arahku.
Aku
mengeluarkan handphone dan berusaha menghubungi Papa, namun panggilan terus
saja dialihkan. Pria-pria tadi semakin mendekat saja dan sedikit senyuman
mereka torehkan padaku. Sialan, itu bukan senyuman yang bersahabat. Itu..
senyuman..
“Kawaii ne,
anata wa gakusei desuka?” Salah seorang dari 3 pria itu bertanya padaku namun
aku tak tahu apa artinya. “I’m sorry, i don’t understand.” Aku coba membalas
mereka sebisaku. “Hohoho Amerikajin.” Salah seorang lagi tiba-tiba seperti
mencoba menebak darimana aku berasal. Dengan detak jantung yang semakin
berdebar kencang akhirnya orang yang memulai pembicaraan mencengkram tanganku
sambil tersenyum. Oh tidak, ini benar-benar mimpi buruk, aku menutup kedua
mataku dan berharap ini semua hanya mimpi. Tapi aku tahu ini semua nyata terasa
jelas dari tanganku yang terasa sakit setelah beberapa saat.
Dari kejauhan
terdengar suara sepeda motor dan berhenti tepat dimana kami berada. Oh tidak, jangan
sampai komplotan pria ini lagi. Aku masih menutup kedua mataku karena rasa
takut yang semakin menguasaiku. Namun seseorang yang baru turun dari sepeda
motor seperti berusaha bernegosiasi. Suaranya, tunggu. Aku tahu suara ini, dan
ketika aku coba membuka sebelah mataku ternyata benar itu Kaneki. Mereka
seperti tengah beradu mulut. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka
bicarakan. Tapi setelah beberapa saat akhirnya pria asing tadi melepaskan
lenganku dan kembali berjalan bersama teman-temannya.
“Jadi, apa
yang kau lakukan ditengah pagi buta begini?” Kaneki coba memulai pembicaraan.
“Aku kira, ini
sudah pukul 06.30 karena cahaya mataharinya terlihat sama dengan kemarin. Jadi
aku bergegas pergi tanpa melihat jam terlebih dahulu.” Ucapku yang masih
sedikit ketakutan. “Kaneki, sebenarnya siapa mereka? Tanganku terasa sakit
sekali.” Dengan penuh rasa penasarah aku bertanya pada Kaneki yang sedari tadi
memperhatikan lenganku.
“Yakuza.” Matanya
beralih menatap mataku.
“Apa itu Yakuza?”
Dengan sedikit canggung aku kembali bertanya padanya.
“Sebuah gank
besar yang ada di Jepang, mereka tersebar dimana-mana. Mereka sangat ditakuti.
Jadi kau jangan coba-coba berurusan dengan mereka.” Ucap Kaneki sambil menunjuk
batang hidungku.
“Lalu
bagaimana kau menghadapinya?”
“Ra-ha-si-a.
Ayo kita pergi bersama. Atau kau masih mau menunggu bus dan berharap Yakuza itu
datang lagi?”
“Bagaimana
dengan Aoi?”
Dia sepertinya
tidak ingin menjawab dan berencana meninggalkanku yang masih diselimuti rasa
penasaran, ketika dia menginjakan gigi di motornya aku baru tahu bahwa dia
serius. Dengan masih tersisanya rasa takut didalam hatiku akhirnya aku bersedia
pergi bersama Kaneki meskipun aku tahu, pergi bersamanya hanya akan membuat
jantungku berdegup kencang lagi.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'