Posted by : Unknown Jumat, 30 Januari 2015


“Jika aku tidak sungguh-sungguh untuk apa datang kemari? Kau mengerti maksudku bukan?” Tommy tampak berusaha meyakinkanku.
“Bagaimana dengan Vreya?”
“Dia akan baik-baik saja. Tapi aku tidak berpikir kau baik-baik saja disini. Jadi aku memutuskan untuk menyusulmu kemari.”
“Bagaimana kau tahu aku disini?”
“Emm.. Jika kau ingin tahu, temani aku berjalan-jalan disini. Sepertinya cuaca cukup bersahabat.” Melihatnya memohon seperti itu sama sekali tidak menggerakan hatiku, namun begitu Kaneki berjalan dengan Aoi tepat dihadapanku, tiba-tiba sebuah kata meluncur begitu saja.
“Baiklah.” Oh tidak, apa yang aku pikirkan kali ini. Kaneki sama sekali tak melihatku, entah dia memang sengaja atau memang aku tak terlihat olehnya.
“Benarkah? Arigatou Rifka-sama.” Kata-kata itu membuatku sadar dengan siapa aku berbicara. Dia tampak kegirangan, raut mukanya seperti anak kecil yang diberi permen loli oleh Ibunya.
“Jadi, kau ingin pergi kemana?” Aku mencoba lebih bersahabat kepadanya meskipun aku tidak tahu mengapa aku harus bersikap seperti itu padanya. Sebenarnya apa yang tengah merasuki pikiranku?
“Hmm... Bisakah kita mengunjungi taman hiburan? Sepertinya aku memang butuh hiburan setelah merasakan ‘jet lag’. Padahal ini bukan penerbangan pertama kalinya, tapi ini sering terjadi padaku. Emm, tapi kalau kau tidak ingin kesana kita bisa cari tempat lain.”
“ Tapi cuaca seperti ini..”
“Tumpukan saljunya hanya sedikit kok. Tidak apa-apa.”
“Ok.”
Kami akhirnya berjalan menjauhi gedung sekolah dan tiba di halte bus untuk segera menuju taman hiburan. Akhirnya bus yang kami tumpangi datang juga. Sepertinya Tommy sudah mengenal kota Jepang dengan baik, mungkin karena sejak kecil ia selalu menghabiskan liburan di Jepang bersama Pamannya. Terkadang aku sering menangis ketika ditinggal Tommy berlibur dan memaksa Papa untuk pulang ke kampung halamannya, tapi Mama selalu melarangku pergi dan memaksaku untuk tetap tinggal. Sepertinya memang benar apa kata Kaneki, sampai sekarangpun  aku hanya gadis manja yang cengeng.
Akhirnya kami berdua ada didalam bus yang menuju taman hiburan. Sesuai janji aku memaksa Tommy untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Jadi.. bisa kau ceritakan kronologis kejadiannya? Bagaimana kau bisa tahu aku ada disini?”
“Itu mudah, saat aku tahu kau memutuskan pergi, tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Entah kenapa aku seperti kehabisan cadangan oksigen begitu saja. Tanpa pikir panjang aku berlari kerumahmu dan akhirnya aku bertemu Ibumu. Sepertiya aku telat beberapa jam untuk bertemu denganmu. Pantas saja kau tak mau membalas pesanku, ternyata itu detik-detik terakhir kau meninggalkan Bandung.” Ujarnya lirih.
“Lalu?”
“Setelah aku gagal menemuimu, aku memaksa Ayah untuk memindahkanku ke Jepang. Awalnya ia tidak setuju, nemun begitu mendengar ceritaku akhirnya ia mengijinkan dan memesankan tiket keesokan harinya.”
“Kau menceritakan pada Ayahmu? Tak ada bagian yang kau lewatkan?” Aku tampak tak percaya ia melakukan semua itu untuk bertemu denganku.
“Ya, tentu.”
“Tentangku juga?”
“Itu yang membuat Ayah mengijinkanku pergi.”
“Kau ini...”
“Tapi sekarang kau tahu kan? Aku benar-benar serius meminta maaf padamu.”
Aku tak bisa menjawabnya, hanya pria bodohlah yang mau mengejar wanita hingga keluar negeri.
“Kau tahu? Jika kau ingin meminta maaf, kau cukup mengirimku e-mail.”
“Tapi itu tidak akan cukup. Aku tahu benar-benar tahu siapa dirimu Rifka, kau dan aku sudah bersama sejak kecil dan kau takkan mungkin mau memaafkanku hanya dengan e-mail saja.”
“Benar.”
“Jadi, bila usahaku kali ini kurang cukup dimatamu, aku akan berusaha lebih lagi agar kau memaafkanku.”
“Lagipula aku pindah bukan hanya karenamu Tommy.”
“Biar kutebak. Randi?”
Aku tak mau menjawabnya. Bagaimana tidak, ia selalu mengetahui apa yang aku pikirkan tanpa perlu memberi tahunya. “Lalu, bagaimana kau tahu aku bersekolah disana? Masuk di kelas 11-3? Dan..”
“Kau memang tidak berubah, pertanyaan yang kau ajukan sangat banyak. Baiklah aku akan jawab semua pertanyaanmu Rifka. Aku mengetahui dari Ibumu bahwa kamu tinggal bersama Ayahmu. Jadi begitu sampai aku menghubungi Ayahmu dan menanyakan padaya dimana kau bersekolah dan dikelas apa kau sekolah disana. Jadi, apa Ayahmu tidak memberitahumu?”
“Papa? Tidak. Lalu kenapa kau baru masuk hari ini?”
“Sudah ku bilang setiap melakukan penerbangan aku selalu mengalami ‘jet lag’ dan baru hari ini kondisiku sudah membaik. Jadi, ada lagi pertanyaan lain yang harus ku jawab?”
“Tidak.”
Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela, butiran butiran salju yang melayang-layang diudara. Berusaha menikmati perjalanan kali ini, namun belum sempat aku menghayatinya Tommy kembali memulai percakapan.
“Jadi, pria tadi itu pacarmu?”
“Pria.. Mana?” Dengan cepat aku mengalihkan pandanganku pada Pria yang sedari tadi duduk disampingku.
“Pria yang tadi membawamu menjauhiku?”
“Kaneki? Bukan, bukan. Dia hanya teman.” Semakin lama suaraku semakin pelan saja.
“Apa kau yakin? Sepertinya matamu mengatakan hal yang sebaliknya.”
“Tommy, kau ini bicara apa?”
“Ah sepertinya sudah sampai. Ayo turun.” Akhirnya kami berdua tiba di taman hiburan. Dan seperti yang kuduga, taman hiburannya ditutup untuk sementara waktu untuk mencegah kecelakaan karena cuaca yang kurang baik.
“Ah, sayang sekali.”
Tommy tampak kecewa sekali, sebenarnya aku ingin pulang tapi aku masih penasaran dengan pernyataan terakhirnya tadi. Rasa penasaran telah membuatku mengalah dan memutuskan untuk mencari hal lain yang mungkin bisa kami dapatkan sebagai gantinya.
“Bagaimana kalau mencari makanan? Perutku sangat lapar.” Aku berusaha mencari tempat yang mungkin bagus untuk kembali melanjutkan percakapan kami didalam bus, meskipun sebenarnya aku sedang tidak ingin makan banyak.
“Baiklah, ikuti aku.” Tommy tampak memberi aba-aba. Kami akhirnya tiba disebuah restoran mewah disekitar Haido Park, dengan melihat sekeliling saja rasanya dibutuhkan banyak uang untuk sekedar mencicipi hidangan pembuka.
“Kau yakin kita akan makan disini?” Tanyaku sedikit pelan pada Tommy.
“Mungkin ini usaha keduaku untuk membuatmu memaafkanku.” Tommy tampak tersenyum seolah ini cara ke-3 agar aku memaafkannya.
“Baiklah, asal kau tidak menyuruhku untuk membayarnya. Kau tahu? Aku tidak membawa banyak uang hari ini.” Balasku sedikit khawatir.
“Tentu saja tidak, aku yang traktir.” Balas Tommy riang.







***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 シズカ 近松's Blog ^^ - Ore no Imouto - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -