Dream in Tokyo ` Part 11


“Jadi, maukah kau lanjutkan percakapan kita yang sempat terhenti?” Setelah cukup kenyang, aku memaksanya melanjutkan apa yang tengah kami bicarakan saat diperjalanan.
“Kau sangat berantusias sekali bila membicarakan pria asing tadi.” Ucap Tommy sambil menyeka mulutnya.
“Ti..tidak, tidak. Bukan seperti itu maksudku. Hanya saja aku sedikit penasaran dengan pernyataanmu tadi.” Aku berusaha mencari alasan yang cocok untuk saat ini.
“Baiklah, jujur saja aku merasa telah digantikan olehnya. Tapi kau harus ingat. Jangan dulu mempercayai pria asing. Berbahaya, bisa saja dia memiliki niat buruk padamu. Kau tahu, aku sangat mengenalmu melebihi siapapun, dan aku tak ingin kau terluka olehnya.”
“Kaneki orang baik, dia menyelamatkanku 2x hari ini.”
“Bisa saja itu hanya kedoknya.”
“Sepertinya ia tulus.”
“Kalian baru saja saling mengenal. 95% pria itu jahat menurutku. Jika ia tidak menyentuhmu, tidak memperlakukanmu dengan lembut seolah kau pacarnya, tidak membuatmu melakukan apa yang seharusnya dilakukan orang asing baru aku percaya padanya. Kecuali kalian sudah lama saling mengenal.”
Tunggu, pagi tadi Kaneki menyuruhku memeluknya dengan alasan aku harus memasukan tanganku kedalam saku jaketnya dan tadi saat mengantarnya ke UKS, dia.. dia memelukku dan tiba-tiba saja dia menggenggam tanganku saat bertemu Tommy. Oh tidak, dia melakukan semua hal yang Tommy bicarakan .
“Dan juga sepertinya ia suka mempermainkan wanita. Aku bisa melihatnya dari cara wanita tadi menggandengnya.” Aku hanya terdiam memikirkan semua ucapan Tommy. Apa aku benar-benar salah menilai Kaneki?
Tak lama seseorang yang kukenal datang kedalam restoran yang sama. Ya, itu Kaneki bersama Aoi. Seperti biasa Aoi tak pernah melepaskan tangannya dari Kaneki, dan Kaneki? Ia memang tampak menyebalkan seperti apa yang Tommy gambarkan.
Pada akhirnya, mata kami saling bertemu. Entah mengapa perasaan tak menentu ini tiba-tiba datang lagi. Padahal aku kira, aku akan sedikit membencinya kali ini namun perasaan ini masih tetap sama.
Aoi mengikuti pandangan Kaneki, akhirnya Aoi mengajak Kaneki untuk mendekat kearah kami. Aoi tampak senang bertemu dengan kemi, maksudku bertemu dengan Tommy. Semua kursi telah penuh dan akhirnya Tommy angkat bicara.
“Kalian boleh bergabung bersama kami.” Ucap Tommy mempersilahkan Aoi dan Kaneki untuk duduk.
Tunggu. Bergabung? Dengan mereka? Oh tidak. Dengan riang Aoi menerima tawaran Tommy dan akhirnya mereka duduk bersama kami. Aku duduk disamping Tommy dan bersebrangan dengan Kaneki. Kenapa harus seperti ini? Sialan.
Aku tidak bisa fokus dan mengendalikan diriku. Duduk berhadapan dengan Kaneki, membuatku gerogi. Meskipun tadi pagi kami melakukan hal yang sama tapi bila disebelah kami masing-masing bersama seseorang rasanya sedikit tidak nyaman.
By the way, thank you for saving Rifka twice in one day” Mataku tiba-tiba menoleh kearah sumber suara berasal. Tampaknya Kaneki mengikuti gerakanku.
No problem.” Balas Kaneki singkat. Tiba-tiba mata Aoi menyipit kearahku. Pandangan yang selalu ia berikan setiap kali bertemu denganku. “You’re saving her?” Ia meminta penjelasan lebih lanjut pada Kaneki, tapi Tommy kembali memotong.
But now, i’ll beside her everywhere, and you don’t touch her again. She’s mine. You’d be better stay away from her” Kata-kata itu seketika membuatku semakin membelalakan mata.
“Tentu jika dia lebih memilihmu.” Kaneki tampaknya tidak mau kalah.
“Hohoho ternyata kau bisa berhasa Indonesia juga. Bagiku memang kau memiliki nilai lebih, tapi kau tetap jauh bila dibandingkan denganku.” Oh tidak, tampaknya mereka akan memulai pertengkaran lagi disini. Aoi tampak bingung atas apa yang sedang terjadi, akhirnya untuk mencegah pertengkaran lebih lanjut aku membujuk Tommy untuk segera mengantarkanku pulang dan untungnya ia segera menyanggupi tanpa berbasa-basi. Meskipun tak melihatnya tapi aku tahu Kaneki sedang memandangi kami saat pergi.
Selama perjalanan pulang banyak sekali hal yang aku pikirkan. Baik itu Tommy maupun Kaneki. Seluruh pernyataan dan tingkah laku mereka membuatku tak bisa berpikir dengan jernih. Aku membenarkan perkataan Tommy dan seluruh penilaiannya pada Kaneki namun disisi lain hatiku menyalahkan pemikiranku. Meskipun aku membenarkannya, namun begitu melihat Kaneki perasaan kesalku padanya tiba-tiba menghilang. Dan hatiku juga beranggapan semua yang dilakukannya padaku semata-mata agar dia mampu melindungiku. Mencegah agar aku tidak kedinginan karena cuaca pagi tadi dan juga memeluk karena aku benar-benar merasakan sesak yang sangat dalam.
“Aku merasa kasihan pada wanita yang bersamanya.” Tiba-tiba perkataan itu membangunkanku yang masih seperti terbawa mimpi. “Dia begitu polos hingga mau ditipu pria menyebalkan.” Kata-kata dengan nada yang sama, kembali terdengar. “Aku tidak akan mebiarkanmu merasakan hal yang sama seperti gadis malang tadi.” Tommy kembali membuatku bimbang. “Karena aku teman terbaikmu bukan?” Tiba-tiba pernyataan itu sedikit membuatku tenang. “Dan kita akan menikah saat kita dewasa nanti. Seperti apa yang telah kita janjikan.” Dan pernyataan terakhirnya seperti memberikanku sebuah beban yang sangat berat. Mungkinkah ia merasakan hal yang sama ketika aku menentang Tommy dan Vreya?







***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Dream in Tokyo ` Part 10


“Jika aku tidak sungguh-sungguh untuk apa datang kemari? Kau mengerti maksudku bukan?” Tommy tampak berusaha meyakinkanku.
“Bagaimana dengan Vreya?”
“Dia akan baik-baik saja. Tapi aku tidak berpikir kau baik-baik saja disini. Jadi aku memutuskan untuk menyusulmu kemari.”
“Bagaimana kau tahu aku disini?”
“Emm.. Jika kau ingin tahu, temani aku berjalan-jalan disini. Sepertinya cuaca cukup bersahabat.” Melihatnya memohon seperti itu sama sekali tidak menggerakan hatiku, namun begitu Kaneki berjalan dengan Aoi tepat dihadapanku, tiba-tiba sebuah kata meluncur begitu saja.
“Baiklah.” Oh tidak, apa yang aku pikirkan kali ini. Kaneki sama sekali tak melihatku, entah dia memang sengaja atau memang aku tak terlihat olehnya.
“Benarkah? Arigatou Rifka-sama.” Kata-kata itu membuatku sadar dengan siapa aku berbicara. Dia tampak kegirangan, raut mukanya seperti anak kecil yang diberi permen loli oleh Ibunya.
“Jadi, kau ingin pergi kemana?” Aku mencoba lebih bersahabat kepadanya meskipun aku tidak tahu mengapa aku harus bersikap seperti itu padanya. Sebenarnya apa yang tengah merasuki pikiranku?
“Hmm... Bisakah kita mengunjungi taman hiburan? Sepertinya aku memang butuh hiburan setelah merasakan ‘jet lag’. Padahal ini bukan penerbangan pertama kalinya, tapi ini sering terjadi padaku. Emm, tapi kalau kau tidak ingin kesana kita bisa cari tempat lain.”
“ Tapi cuaca seperti ini..”
“Tumpukan saljunya hanya sedikit kok. Tidak apa-apa.”
“Ok.”
Kami akhirnya berjalan menjauhi gedung sekolah dan tiba di halte bus untuk segera menuju taman hiburan. Akhirnya bus yang kami tumpangi datang juga. Sepertinya Tommy sudah mengenal kota Jepang dengan baik, mungkin karena sejak kecil ia selalu menghabiskan liburan di Jepang bersama Pamannya. Terkadang aku sering menangis ketika ditinggal Tommy berlibur dan memaksa Papa untuk pulang ke kampung halamannya, tapi Mama selalu melarangku pergi dan memaksaku untuk tetap tinggal. Sepertinya memang benar apa kata Kaneki, sampai sekarangpun  aku hanya gadis manja yang cengeng.
Akhirnya kami berdua ada didalam bus yang menuju taman hiburan. Sesuai janji aku memaksa Tommy untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Jadi.. bisa kau ceritakan kronologis kejadiannya? Bagaimana kau bisa tahu aku ada disini?”
“Itu mudah, saat aku tahu kau memutuskan pergi, tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Entah kenapa aku seperti kehabisan cadangan oksigen begitu saja. Tanpa pikir panjang aku berlari kerumahmu dan akhirnya aku bertemu Ibumu. Sepertiya aku telat beberapa jam untuk bertemu denganmu. Pantas saja kau tak mau membalas pesanku, ternyata itu detik-detik terakhir kau meninggalkan Bandung.” Ujarnya lirih.
“Lalu?”
“Setelah aku gagal menemuimu, aku memaksa Ayah untuk memindahkanku ke Jepang. Awalnya ia tidak setuju, nemun begitu mendengar ceritaku akhirnya ia mengijinkan dan memesankan tiket keesokan harinya.”
“Kau menceritakan pada Ayahmu? Tak ada bagian yang kau lewatkan?” Aku tampak tak percaya ia melakukan semua itu untuk bertemu denganku.
“Ya, tentu.”
“Tentangku juga?”
“Itu yang membuat Ayah mengijinkanku pergi.”
“Kau ini...”
“Tapi sekarang kau tahu kan? Aku benar-benar serius meminta maaf padamu.”
Aku tak bisa menjawabnya, hanya pria bodohlah yang mau mengejar wanita hingga keluar negeri.
“Kau tahu? Jika kau ingin meminta maaf, kau cukup mengirimku e-mail.”
“Tapi itu tidak akan cukup. Aku tahu benar-benar tahu siapa dirimu Rifka, kau dan aku sudah bersama sejak kecil dan kau takkan mungkin mau memaafkanku hanya dengan e-mail saja.”
“Benar.”
“Jadi, bila usahaku kali ini kurang cukup dimatamu, aku akan berusaha lebih lagi agar kau memaafkanku.”
“Lagipula aku pindah bukan hanya karenamu Tommy.”
“Biar kutebak. Randi?”
Aku tak mau menjawabnya. Bagaimana tidak, ia selalu mengetahui apa yang aku pikirkan tanpa perlu memberi tahunya. “Lalu, bagaimana kau tahu aku bersekolah disana? Masuk di kelas 11-3? Dan..”
“Kau memang tidak berubah, pertanyaan yang kau ajukan sangat banyak. Baiklah aku akan jawab semua pertanyaanmu Rifka. Aku mengetahui dari Ibumu bahwa kamu tinggal bersama Ayahmu. Jadi begitu sampai aku menghubungi Ayahmu dan menanyakan padaya dimana kau bersekolah dan dikelas apa kau sekolah disana. Jadi, apa Ayahmu tidak memberitahumu?”
“Papa? Tidak. Lalu kenapa kau baru masuk hari ini?”
“Sudah ku bilang setiap melakukan penerbangan aku selalu mengalami ‘jet lag’ dan baru hari ini kondisiku sudah membaik. Jadi, ada lagi pertanyaan lain yang harus ku jawab?”
“Tidak.”
Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela, butiran butiran salju yang melayang-layang diudara. Berusaha menikmati perjalanan kali ini, namun belum sempat aku menghayatinya Tommy kembali memulai percakapan.
“Jadi, pria tadi itu pacarmu?”
“Pria.. Mana?” Dengan cepat aku mengalihkan pandanganku pada Pria yang sedari tadi duduk disampingku.
“Pria yang tadi membawamu menjauhiku?”
“Kaneki? Bukan, bukan. Dia hanya teman.” Semakin lama suaraku semakin pelan saja.
“Apa kau yakin? Sepertinya matamu mengatakan hal yang sebaliknya.”
“Tommy, kau ini bicara apa?”
“Ah sepertinya sudah sampai. Ayo turun.” Akhirnya kami berdua tiba di taman hiburan. Dan seperti yang kuduga, taman hiburannya ditutup untuk sementara waktu untuk mencegah kecelakaan karena cuaca yang kurang baik.
“Ah, sayang sekali.”
Tommy tampak kecewa sekali, sebenarnya aku ingin pulang tapi aku masih penasaran dengan pernyataan terakhirnya tadi. Rasa penasaran telah membuatku mengalah dan memutuskan untuk mencari hal lain yang mungkin bisa kami dapatkan sebagai gantinya.
“Bagaimana kalau mencari makanan? Perutku sangat lapar.” Aku berusaha mencari tempat yang mungkin bagus untuk kembali melanjutkan percakapan kami didalam bus, meskipun sebenarnya aku sedang tidak ingin makan banyak.
“Baiklah, ikuti aku.” Tommy tampak memberi aba-aba. Kami akhirnya tiba disebuah restoran mewah disekitar Haido Park, dengan melihat sekeliling saja rasanya dibutuhkan banyak uang untuk sekedar mencicipi hidangan pembuka.
“Kau yakin kita akan makan disini?” Tanyaku sedikit pelan pada Tommy.
“Mungkin ini usaha keduaku untuk membuatmu memaafkanku.” Tommy tampak tersenyum seolah ini cara ke-3 agar aku memaafkannya.
“Baiklah, asal kau tidak menyuruhku untuk membayarnya. Kau tahu? Aku tidak membawa banyak uang hari ini.” Balasku sedikit khawatir.
“Tentu saja tidak, aku yang traktir.” Balas Tommy riang.







***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN

Dream in Tokyo ` Part 9


“Rifka, darimana saja kau?” Tommy menyambutku dari mulut pintu kelas. Tak lama pandangannya dialihkan pada Kaneki yang berada tepat dibelakangku. Kaneki menghentikan langkahnya saat aku dihadang Tommy.
“Kau ini benar-benar memuakan!” Tommy berbicara lantang pada Kaneki.
“Kau seharusnya berkaca pada dirimu sendiri.” Balas Kaneki singkat dan kemudian menabrak badan Tommy dengan cukup kencang. Tanpa terasa kakiku tiba-tiba bergeser dengan sendirinya. Tunggu, Kaneki menarik tangan kiriku dan membawaku masuk kedalam kelas. Apa maksudnya ini Kaneki?
Aku berhasil berpindah sejauh 5 langkah, namun kakiku mendadak berhenti. Sepertinya ada sensasi panas pada pergelangan tangan kananku. Benar, Tommy menarik tangan kananku kembali dengan spontan langkah kaki Kanekipun terhenti.
Sebenarnya ada apa ini?
Kaneki membalikan badannya dan begitu tepat menghadapku sebuah pukulan mendarat tepat dihidungnya. Oh tidak, Kaneki mengeluarkan banyak darah dari hidungnya. Seisi kelas tampak terpaku melihat adegan yang terjadi didepan kelas. Semua tampak khawatir namun tak ada yang bergerak.
Begitu tersadar  apa yang terjadi, tanpa pikir panjang aku menampar wajah Tommy dengan tangan kiriku dan menarik paksa tangan kananku yang masih digenggam olehnya. Tamparanku mungkin tidak kencang, namun amarahku cukup tinggi.
Tanpa pikir panjang aku membawa Kaneki ke UKS. Entah bagaimana raut muka Tommy saat itu, yang jelas aku merasa harus bertanggung jawab pada Kaneki.
“Kau ini bodoh ya? Kenapa kau tidak melawannya?” Entah mengapa kekesalanku juga meluap pada Kaneki. Sesekali aku merasa khawatir melihat darah yang meluncur jatuh dari hidungnya.
“Hei, kenapa kau diam saja.” Nada suaraku kali ini sudah semakin tinggi. Tanpa terasa butiran hangat meluncur dari kelopak mataku. Benar, aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis tapi ini semua telah membuatku sesak.
“Rifka, kau tidak apa-apa?” Kaneki menghentikan langkahnya begitu tahu aku menangis.“Oe, kenapa kau menangis? Aku tidak apa-apa, ini hanya luka ringan.” Mendengar pernyataannya yang seperti itu semakin membuatku ingin menangis. Bagaimana tidak, hari ini saja dia sudah menyelamatkanku 2x tapi yang kuberikan hanyalah sebuah luka.
“I..ini semua salahku.” Tanpa disadari suara tangiskupun pecah dengan cukup keras. Untunglah saat itu lorong menuju UKS sepi, dan akhirnya aku bisa menangis dengan tenang. Isak tangisku sepertinya cukup membuat Kaneki khawatir.
“Rifka, dengar! Aku tidak apa-apa, lihat? Aku baik-baik saja.” Namun aku masih belum bisa menghentikan tangisku. Tiba-tiba ia menarik badanku dan memelukku cukup erat. Perasaan tak enak yang menguasai hati dan fikiranku perlahan berubah menjadi tenang. Sekali lagi ia berbicara “Aku tidak apa-apa.”
Setelah tangisku mereda ia mulai melonggarkan pelukannya. “Dasar anak manja, ternyata kau cengeng juga.” Sebuah pukulan halus dikepala Kaneki luncurkan padaku. Entah apa maksudnya namun aku berhasil tenang. Belum juga sampai di UKS, ia memutuskan kembali ke kelas tanpa berkata-kata dan akhirnya aku mengalah mengikutinya.
“Sepertinya ia masih menyayangimu.” Tiba-tiba suara Kaneki terdengar lagi.
“Maksudmu?”
“Ia tidak akan melakukan hal seperti itu jika ia sudah benar-benar melupakanmu.”
“Tapi..”
“Bicarakanlah dengannya baik-baik, aku yakin dia memiliki alasan khusus mengenai kepindahannya kemari.”
Akhirnya kami tiba diruang kelas. Furukawa sensei tengah berdiri untuk memberi kami pelajaran sejarah Jepang. Sepertinya Kaneki berusaha meminta maaf atas keterlambatan kami dalam jam mengajarnya. Dan akhirnya kami dipersilahkan duduk. Semua orang sudah berada di tempat duduknya kecuali Tommy.
Hingga bel pulang berbunyi batang hidungnya tidak nampak sama sekali. Entah dimana anak itu berada. Perasaan waswas sedikit menyelimuti pikiranku. Entah apa yang sebenarnya terjadi disini, dengan perasaan campur aduk akhirnya aku meninggalkan gedung sekolah.
Seperti biasa Kaneki pulang bersama Aoi, dan aku? Aku seperti anak ayam yang tersesat tanpa tujuan. Akhirnya aku berjalan mengikuti langkah kakiku.
Saat hampir tiba di gerbang utama sekolah, aku melihat seorang pria yang tak asing disana. Aku tahu itu Tommy. Dengan berat hati aku mengikuti apa yang Kaneki katakan padaku. ‘Bicarakanlah dengannya baik-baik, aku yakin dia memiliki alasan khusus mengenai kepindahannya kemari.’
“Tommy, maafkan aku. Aku benar-benar tidak berniat menamparmu tadi.”
“Tidak, aku yang salah. Jadi maafkanlah aku.” Tommy tampak sangat menyesal telah melakukan hal yang kurasa tidak perlu. “Aku tak bisa mengendalikan amarahku. Aku tahu aku salah. Kamu sangat berbeda dengan Vreya dan aku benar-benar tidak mau kehilanganmu. Dan satu hal lagi. Tadi aku tidak memanggilmu dengan Vreya, mungkin pendengaranmu yang sengaja menyampaikan pada otakmu bahwa aku memanggilmu Vreya. Aku sangat yakin aku memanggilmu Rifka.”
Sial, sebenarnya ada apa ini?
“Kau memaafkan aku bukan?” kata-katanya membuatku semakin bingung,
“Tidak perlu waktu yang cepat untuk mengembalikan keadaan ini seperti semula, aku tahu semua butuh proses. Namun jika kau tak mau memaafkanku, aku akan lebih berusaha agar dapat membuatmu memaafkanku.”







***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Dream in Tokyo ` Part 8



“Kau ingin makan apa?” tanya Tommy setelah kami tiba dikantin sekolah.
“Aku sedang diet.” Jawabku seadanya.
“Bukankah kau sudah kurus? Untuk apa diet?” Ucapnya sambil sedikit meledekku. Itu benar-benar gurauan yang benar-benar ‘tidak lucu’. Seharusnya dia bisa melihat badanku yang lebih gemuk dengan mata terpejam. Benar-benar pria tak tahu diri, nafsu makanku bertambah ketika aku patah hati olehmu, jika saja dia hanya sebuah boneka mungkin sudah ku congkel matanya, patahkan tulang lehernya dan jambak rambutnya hingga botak, sayangnya dia manusia.
Aku hanya mendengus kencang mendengar gurauan garingnya. Sepertinya ia mulai menyadari sikapku yang tak bersahabat.
“Baiklah, bagaimana kalau coklat panas?”
Tiba-tiba pikiranku melayang pada kejadian tadi pagi, entah kenapa rasanya nyaman saat bersama Kaneki. Dan tanpa disadari aku tersenyum mengingat kejadian pagi tadi.
“Vreya kau tidak apa-apa?”
Pertanyaan itu seketika membuatku sadar akan beberapa hal : 1. Yang bersamaku kali ini bukan Kaneki dan 2. Dia memanggilku Vreya.
“Maaf Tommy, aku bukan Vreya.” Tiba-tiba saja aku berlari meninggalkan kantin, entah kemana tujuanku kali ini yang jelas aku benar-benar sudah tidak tahan menghadapi Tommy, meskipun perasaanku padanya sudah mulai memudar, namun entah kenapa rasa sakit itu kembali datang. Rasa sakit yang tidak bisa aku tahan.
Akhirnya aku tiba disalah satu lorong yang menuju loteng sekolah. Sepertinya ini kali pertamaku datang ke salah satu bagian dari bangunan sekolah yang belum kujelajahi sebelumnya dan disini benar-benar sepi. Sepertinya cocok untuk sedikit melepaskan penat hari ini.
Di depan sana sepertinya ada sebuah tangga yang menuju loteng sekolah paling atas, mungkin harus kucoba menaikinya. Dengan dipenuhi rasa kesal akhirnya kunaiki satu persatu anak tangga besi yang menempel pada dinding sekolah. Pijakan kakiku sepertinya cukup keras hingga salah satu anak tangga tadi patah, aku hampir jatuh dari ketinggian 2meter hanya saja selang beberapa detik sebuah tangan menjulur dan mencengkram lenganku.
“Tidaaaak.. Ha.. haa.. hantuuuu. Tolong jangan pegangi aku. Tolong biarkan aku terjatuh dibanding dimakan olehmu. To..to..tolooong.” Aku berbicara seolah hantu Jepang dapat mengerti apa yang aku maksud. Mataku tak dapat kubuka sekarang, entah itu jatuh ataupun melihat hantu, keduanya aku sama sekali tidak siap.
“Oe, bagaimana mungkin ada hantu disiang bolong begini. Ya meskipun matahari tidak terlihat setidaknya hantu tidak akan muncul disiang hari.” Suara ini, aku tahu suara ini. Dengan ragu sedikit demi sedikit aku membuka mataku dan ternyata benar. Kaneki menyelamatkanku ‘lagi’. Ia tampak kesulitan menggenggam tanganku yang hampir terjatuh, dengan berat badan sekitar 55kg aku rasa dia cukup kuat.
“Injakan kakimu disana, naiklah secara perlahan.” Suara itu terdengar lagi, perlahan-lahan aku injakan kembali kakiku pada anak tangga yang lain, dengan perlahan aku naiki dan akhirnya sampai dipuncak gedung sekolah.
“Maaf, aku sudah menyusahkanmu lagi.“ Aku benar-benar menyesal dan lebih menekankan kata ‘lagi’ diakhir permohonan maafku.
“Tidak apa-apa. Sebenarnya apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau bisa menemukan tempat ini? Dan kenapa kau tidak bersama Tommy?” pertanyaan terakhirnya sedikit berbeda.
“Aku hanya berlari dan akhirnya aku sampai disini. Tommy? Entahlah, tak banyak yang ingin aku bicarakan tentangnya.” Jawabku dengan sedikit rasa kesal ketika ingat akan Tommy. “Lalu apa yang kau lakukan disini? Bagaimana dengan Aoi?”
“Setiap aku bosan, tempat ini selalu jadi tempat persembunyianku. Mirip dengan Otou-san dan Oka-san ketika dulu. Aoi? Aku mengelabuinya tadi, sepertinya ia masih menungguku didepan WC.”
“Apa? Apa kau serius membiarkannya menunggumu disana? Bagaimana kau keluar?”
“Lewat jendela belakang.” Kemudian pandangannya kosong dan kembali menerawang jauh ke langit kelabu.
“Emm, otou-san dan oka-san yang kamu maksud sepertinya memiliki kisah cinta yang luar biasa ya. Aku sendiri dapat menggambarkan betapa indahnya keluargamu itu. Berbeda jauh dengan keluargaku.”
“Kau hanya belum mengetahuinya. Jika aku ceritakan kau pasti takkan percaya. Memangnya bagaimana dengan keluargamu?” Pandangan Kaneki tidak lagi kosong dan sepertinya ia tertarik dengan kisah keluargaku. Akhirnya aku menceritakan semua mengenai keluargaku dan terkadang ia sepertinya benar-benar mengerti bagaimana hidup diposisiku yang sekarang. Sepertinya Kaneki memiliki kepribadian yang sulit ditebak, kadang pendiam, kadang bisa sangat menyebalkan, kadang perhatian, dan kadang bisa membuatku tidak mengenal siapa dia.
“Ah tidak. Bel masuk berbunyi, tak kurasa menghabiskan waktu denganmu dapat menjadi begitu singkat. Jadi kapan-kapan ceritakan mengenai kisah keluargamu padaku ya.”
“Baiklah. Tapi, 2coklat panas lagi.” Oh tidak, jangan senyum ini yang kau tunjukan padaku. Benar-benar membuatku seperti mau mati membeku.







***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Dream in Tokyo ` Part 7


“Kenapa kau menggerai rambutmu?” Tanya Kaneki yang terlihat penasaran
“Ini, oh ini. Aku hanya ingin sesekali lebih rapi saat datang kesekolah.” Sepertinya jawaban atas pertanyaannya kali ini tidak cukup baik.
“Tapi kau terlihat cantik bila menggerai rambutmu.” Pernyataan tadi seketika semakin membuat kerja jantungku lebih cepat. Oh tidak, aku membutuhkan ekstra oksigen disini. Beberapa menit akhirnya berlalu dan aku sangat bersyukur mampu mengendalikannya.
Setelah cukup lama, akhirnya obrolan kami berakhir karena ulah Aoi.
“Oh tidak, Aoi sudah datang.” Kaneki menyela obrolan kami. Matanya menyipit kearah kanan, tiba-tiba Kaneki meneguk langsung coklatnya yang sudah semakin dingin dengan satu kali tegukan hingga habis. Kemudian ia berdiri dari bangku itu dan akhirnya berkata. “Terimakasih untuk coklat panasnya.” Kaneki beranjak dari tempatnya menuju pintu kantin yang berlawanan dengan Aoi.
Setelah beberapa detik masuk kedalam kantin, Aoi kemudian berlari keluar mengikuti Kaneki. Benar-benar seperti anak ayam yang mengejar induknya. “Hmm.. padahal aku masih ingin mendengarkan banyak cerita darinya.” Tiba-tiba kata-kata itu terlontar dari mulutku begitu saja. Begitu sadar, aku memutar kepala kekanan dan kekiri dan untunglah tak ada siapapun disana. Aku tersenyum malu sambil mengusap dadaku.
15menit lagi bel berbunyi, sebaiknya aku bergegas menuju kelas. Ketika keluar dari kantin dan melangkah beberapa meter, seseorang memanggil namaku cukup jelas. Aku berbalik menuju arah suara itu berasal. Seorang pria tengah mematung dengan syal tebal menutup muka dari hidung hingga lehernya.
Pria ini, aku benar-benar mengenalnya. Meskipun wajahnya tertutup tapi aku tahu siapa dia.
“Tommy? Sedang apa kau  disini?” Aku berjalan mendekat kearahnya untuk lebih memastikan. Sedikit aneh melihat Tommy berdiri di koridor dengan menggunakan seragam sekolah kami.
“Rifka, bagaimana kabarmu? Ohayou gozaimasu.” Sialan, itu benar-benar Tommy gaya bahasa serta caranya menyapaku, ini benar-benar Tommy, bagaimana bisa? Kenapa dia disini? Dan BAGAIMANA VREYA?
Tommy menurunkan syal yang menutupi wajahnya, begitu syalnya terbuka senyum mengambang yang membuat jantungku berdegup kencang DULU. Deretan gigi putih bersinar tertata rapi menjadi pemanis senyumnya, tapi kurasa aku sudah tidak merasakan hal yang sama seperti dulu.
“Ayo kita ke kelas, 11-3 bukan? Aku juga masuk kelas itu.” Tangannya sekarang merangkul pundakku. Dia seolah memberi aba-aba untukku berjalan disampingnya, tapi entah mengapa kakiku malah terdiam dan dalam beberapa saat lengannya mengapung diudara.
“Rifka? Kau tidak apa-apa? Apa kau demam?” Kini belakang telapak tangannya menyentuh keningku. “Kau tidak demam. Mungkin kau kedinginan.” Dia segera melepaskan syal yang menggulung lehernya dan ketika hendak memberikannya padaku, aku melangkah mundur menjauh darinya.
“Rifka? Kenapa?” Mukanya menunjukan rasa tak percaya yang sangat tinggi. Sampai detik ini belum ada kata yang terlontar dari mulutku. Begitu banyak pertanyaan diujung lidahku, namun entah mengapa, tak ada satu katapun yang keluar.
“Rifka, what are you doing?” Suara gadis itu mengaburkan seluruh pertanyaan yang membelenggu lidahku. Begitu aku menoleh kebelakang ternyata itu Kyoko.
Kyoko tampak terpaku melihat seorang pria yang tengah berdiri dihadapannya, meskipun mukanya tampak kebingungan, mungkin dimata Kyoko ia tampak sempurna. Kyoko tak henti memandanginya dan berkata “Kawaii.” Ternyata virus ketampanannya sudah mewabah disekolah ini juga.
“Rifka, dia temanmu?” Tommy mencoba pembicaraan lain. Mata Kyoko dengan cepat mengarah kepadaku. “Rifka?” matanya seolah bertanya ‘kau mengenal pria ini?’ tapi dengan sigap aku menggandeng tangan Kyoko untuk bergegas menuju kelas dan menyeretnya secara paksa. Kyoko seolah tak percaya, dia terus menerus memandangi pria yang tertinggal dibelakang.
Ketika sampai dikelas, Kyoko dengan semangat bercerita pada Sayaka soal pria yang ditemui oleh kami pagi ini. Dia bercerita sangat antusias seperti saat ia menceritakan Kaneki. Kaneki yang sedari tadi mencuri dengar sesekali menyipitkan pandangannya padaku yang masih berada ditengah Kyoko dan Sayaka. Entah apa maksudnya tapi sepertinya ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.
Bel tanda masuk sudah berbunyi. Kami sudah duduk diposisi masing-masing. Tak lama pria yang duduk tepat dibelakangku perlahan-lahan menggeser kursi yang kududuki dengan kakinya kemudian bertanya. “Oe? Benarkah itu? Apakah dia setampan itu? Bagaimana bila dibandingkan dengan ku? Namanya Tommy? Mirip sekali dengan orang yang kau ceritakan pagi tadi.” Kaneki tampak terkekeh dengan semua pertanyaannya yang kurasa juga sedikit konyol untuk ditanyakan.
Belum sempat aku menjawab, Sensei datang diikuti siswa baru itu. Kaki yang sengaja menggeser-geser kursiku perlahan mereda, diikuti dengan suara anak perempuan yang histeris dan tampak bersemangat melihat pria dengan wajah asing memasuki kelas mereka.
“Jangan bilang, ini Tommy yang kau ceritakan.” Suara bisikan itu terdengar begitu jelas kali ini. Bagaimana tidak kepala Kaneki benar-benar condong kedepan. Tiba-tiba Tommy menatap Kaneki dengan sinis dan seluruh wanita dikelas kami mengikuti arah bola mata Tommy, dan kini pandangan mereka tertuju padaku dan Kaneki.
“Ya, dia Tommy teman kecilku yang tadi pagi aku ceritakan.” Dengan tatapan kosong Kaneki perlahan duduk kembali ditempat kursinya. Seluruh pandangan anak perempuan dikelas sudah kembali pada Tommy, namun sesekali Tommy melirik kearah Kaneki dengan perasaan sinis.
‘Sebenarnya untuk apa dia datang kemari, bukankah sudah cukup membuatku tersiksa disana?’ pertanyaan itu tak henti hentinya aku tanyakan pada diriku hari ini sampai tak terasa waktu berlalu begitu saja. Bel istirahat berbunyi, selang beberapa saat seseorang sudah berdiri dipinggir mejaku.
“Rifka, kutraktir kau makan.” Seluruh pandangan anak perempuan dikelas kami tampak kecewa. Beberapa anak perempuan terlihat saling mengomentariku dan Tommy, termasuk Sayaka dan Kyoko. Selang beberapa saat Aoi muncul dengan sangat riang.
“Kaneki-kuuuuuuuun, iku!” Dengan nada yang sangat manja Aoi menarik lengan Kaneki, tapi langkahnya beberapa saat terhenti ketika melihat Tommy berdiri dihadapannya. “Anata no kawaii desu.” Nada manjanya kali ini ditujukan pada Tommy, dan beberapa saat setelah melihatku. “Demo, omae?” Tangannya kembali mengacung kearah mukaku dan berusaha menyatukan kembali alisnya.
Dengan sigap Tommy menurunkan jari telunjuk Aoi dan berkata padanya dengan nada yang sangat sopan. Aoi akhirnya tersenyum dan kembali menarik Kaneki untuk pergi menikmati waktu istirahat bersamanya. Kaneki berjalan menjauh bersama Aoi, rasanya sedikit kesal melihatnya, tapi tunggu, kenapa aku merasa kesal? Mungkin karena dia menyelamatkan hidupku pagi ini dan aku ingin dia sekali lagi menyelamatkanku dari Tommy.
Tapi Kaneki semakin menjauh, dan akhirnya setelah berusaha cukup keras menolak ajakannya Tommy akhirnya aku menyerah dan memutuskan menikmati waktu istirahat bersama Tommy.







***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Dream in Tokyo ` Part 6


“Lalu, kenapa kau pergi pagi sekali? Bukankah ini terlalu pagi untukmu?” Aku memulai pembicaraan pertama diatas sepeda motor miliknya.
“Aku memang sudah terbiasa pergi di pagi buta. Hanya ini waktu tenangku tanpa Aoi.” Balasnya sedikit dingin entah memang cuacanya sedang sangat dingin.
“Kalian sangat dekat, mengingatkanku pada Tomy dulu.” Tiba-tiba aku mengatakan hal yang tak seharusnya aku katakan.
“Tommy? Siapa Tommy?” Tanya Kaneki sambil memalingkan wajahnya dari jalanan dan coba menoleh ke arahku. Karena terhalang oleh helm miliknya, akhirnya ia amenyerah dan kembali memfokuskan pada jalanan didepan kami.
“Dia teman dekatku sejak kecil. Kemanapun ia pergi aku selalu bersamanya, hanya saja itu tidak bertahan lama. Belakangan ketika ia mulai dekat dengan sahabatku Vreya, ia memutuskan tak pernah mengajakku. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama Vreya. Menyedihkan bukan?” Tanyaku yang sedikit menggigil.
“Tidak juga.” Balasnya semakin dingin. Setelah beberapa saat akhirnya Kaneki buka mulut. “Kalian hanya berteman bukan? Wajar saja jika dia menyukai wanita lain. Bagitu itu bukan masalah besar.” Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Kaneki barusan. Saat aku tengah melamun, Kaneki kembali membuka mulutnya.
“Kau kedinginan bukan? Masukan tanganmu kedalam saku jaketku. Kau ini benar-benar bodoh ditengah salju begini keluar tanpa sarung tangan.”
“Tapi..” Aku coba mencari alasan agar hal itu tidak sampai terjadi. Membayangkannya saja sudah membuat aku mati rasa.
“Asalkan kau harus traktir aku secangkir coklat panas.” Lanjut Kaneki, entah bagaimana rasanya, hanya saja ia selalu mampu mencairkan suasana. Akhirnya aku mengalah dan memasukan tanganku kedalam saku jaketnya.
“Lalu, bagaimana ceritamu dengan Aoi?” Aku kembali melontarkan pertanyaan yang kurasa tidak penting baginya. Tapi kurasa akan sangat penting untukku. “Jadi, bisakah kau menceritakannya padaku?”
“Emm, Tentu.” Kaneki sepertinya sedikit tersenyum seakan menggambarkan kebahagiaannya dulu. “Awalnya aku menyukai fotografi, mungkin karena setiap orang yang melihat hasil potretanku selalu memuji hasilnya. Mungkin itu bakat alami yang diberikan Otou-san padaku.”
“Lalu, apa hubungannya dengan Aoi?” Aku sedikit kebingungan atas intro dari alur ceritanya.
“Saat masih kecil aku bertemu degan Aoi, dia tengah menangisi kucingnya yang tak bisa turun dari atas pohon. Aku coba membantunya dengan naik hingga ke puncak pohon tersebut. Namun ketika sampai dipuncak pohon, dahan yang kunaiki tiba-tiba patah dan membuatku terjatuh cukup tinggi. Namun sesaat sebelum terjatuh aku berhasil menyelamatkan kucing Aoi dan memeluknya. Aku menahan tubuhku dan si kucing dengan tangan kananku dan alhasil tanganku benar-benar  patah. Aku cepat dilarikan ke Rumah Sakit untuk melihat seberapa parah kerusakan yang diakibatkannya. Pada akhirnya tanganku harus dibebat selama sebulan. Sebulan berlalu, aku sangat berantusias memegang kembali kamera yang sudah kubiarkan sebulan lamanya. Namun sejak saat itu, tanganku tak pernah berhenti bergetar ketika memegang kamera. Meskipun dinyatakan sembuh namun tanganku tetap sulit dikendalikan.”
“Lalu, bagaimana dengan Aoi?” Tanyaku semakin penasaran akan ceritanya.
“Tentu saja dia merasa bersalah. Dan sejak saat itu dia tak pernah membiarkanku lepas dari pandangannya. Aku sudah bilang berulang kali padanya, namun dia tetap merasa bersalah. Kadang aku berpikir, apakah harus aku membuat tangannya patah agar kami impas? Namun itu benar-benar konyol Iya kan?”
Sepertinya ia mulai mengeluarkan jurus humornya.
“Bisa saja kau lakukan jika ingin benar-benar lepas darinya.” Jawab ku yang tak ingin kalah bergurau dengannya.
“Baiklah, akan ku lakukan.” Jawabnya datar seolah dia benar-benar akan melakukannya.
“Kau bercerita cukup panjang lebar, aku tak menyangka pria yang disebut-sebut dingin seperti es dapat berbicara banyak padaku.” Aku mencoba memberikan tawa diujung argumenku.
“Siapa bilang aku sedingin es?” Tanyanya kembali serius.
“Teman-temanku. Tak banyak wanita yang kau ajak bicara, tapi ini sudah terlalu banyak kau bicara. Dan sepertinya anggapan mereka memang salah. Bahkan kau menyelamatkanku tadi.”
“Kebanyakan orang memang menilai seseorang dari luarnya saja.” Jelas Kaneki.
“Ada 1 pertanyaan lagi. Kau masih mau menjawabnya?” Ini memang pertanyaan yang sangat membuatku penasaran.
“2 coklat panas.” Nada bicaranya seakan ia sedang tersenyum.
“Baiklah. Emm matamu tidak seperti orang Jepang kebanyakan, meskipun namamu terdengar sangat-sangat Jepang sekali. Bahasa Indonesiamu juga cukup lancar meskipun Bahasa Jepangmu jauh lebih lancar. Sebenarnya bagaimana kau menjelaskan semuanya?” Aku rasa Pertanyaan yang dilontarkan cukup banyak, tapi aku benar-benar penasaran dibuatnya.
“Ayahku orang Indonesia. Oka-san orang Jepang. Ayah sudah lama tinggal di Jepang sebagai kepala Rumah Sakit. Aku lebih banyak mengenal budaya Jepang tapi aku selalu diajari bagaiman berbahasa Indonesia yang baik, karena Oka-sam juga sudah lama tinggal di Indonesia.”
“Oh begitu ya.” Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiranku. Dia memanggil Ayahnya dengan kata ‘Ayah’ sedangkan memanggil Ibunya dengan sebutan ‘Ibu’ tapi tadi kalau tidak salah ia menyebut bakat photography-nya berasal dari ‘Otou-san’ jadi mungkinkah yang dikatakan teman-teman itu benar adanya?
“Kau sangat penasaran dengan hidupku. Hahaha” Dia tertawa cukup kencang membuatku tiba-tiba tersadar bahwa muka ku kini memerah. Sial kenapa juga aku harus bertanya hal pribadi? Ah damn
Kami akhirnya tiba di sekolah. Suasananya masih cukup sepi namun beberapa kantin sudah dibuka. “Ayo! Coklat panas menungguku.” Kaneki berjalan tanpa diberi aba-aba. Ia segera bergegas menuju kantin yang menjual coklat panas. Belum juga aku sampai dia sudah memesan 2coklat panas. Bocah sialan, aku kira dia hanya bercanda ingin mendapat 2 coklat panas. Ternyata dia benar-benar serius.
Ibu kantin tadi telah menyajikan 2 coklat panas diatas nampan. Dengan sigap Kaneki mengambilnya dan menyuruhku untuk membayarkan pesanannya. Benar-benar pria menyebalkan. Tapi apa boleh buat, sepertinya itu setara dengan misi penyelamatannya tadi pagi.
Dia duduk disebuah meja tak jauh dari lokasi dimana aku berdiri. Tiba-tiba tangannya melambai seakan memberikan kode bahwa aku harus menemaninya disana. Aku duduk tepat disebrangnya, ia tampak menikmati coklat panas yang baru saja dituang kedalam cangkirnya. Oh tidak, melihatnya menikmati coklat panas membuatku ingin membelinya juga.
Tak ada percakapan disana, aku berencana untuk membeli coklat panas yang sama. Dan ketika aku beranjak dari tempat dudukku, Kaneki menggenggam lenganku dan menyodorkan coklat panas yang belum ia minum.
“Ini untukmu.” Setelah memberikannya padaku, ia melepaskan lenganku dan kembali meneguk coklat panas miliknya.
“Kau seharusnya menjawab ‘arigatou’ .“ Dia mulai mengguruiku, tak lama ia kembali menyesapnya. Sedikit menggelikan melihat tingkah lakunya yang dirasa sedikit kekanak-kanakan, meskipun aksi heroiknya memperlihatkan ia seperti lelaki dewasa. Namun sikapnya kali ini membuatku tertawa geli.
“Arigatou.” Aku coba mengucapkannya dengan sedikit geli dan akhirnya ia tertawa. Tawa yang membuatku kembali terdiam mematung dan membuat jantungku terpompa lebih cepat.








***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Dream in Tokyo ` Part 5


Pagi ini aku benar-benar semangat untuk pergi ke sekolah, entah mengapa tapi sepertinya perasaan itu tiba-tiba muncul, setelah tiba di Jepang entah mengapa aku berhasil membuang jauh-jauh sifat sinisku dan juga perilaku buruk yang belakangan menguasaiku. Rasanya aku menemukan kembali ‘aku’ yang dulu.
Aku coba menggeraikan rambutku yang biasanya aku kucir asal-asalan. Membiarkannya terbebas seperti perasaanku saat ini. Aku berusaha tampil lebih rapi dari biasanya. Sedikit parfum aku tambahkan untuk membuatnya lebih bergairah. Aku mematung didepan cermin kemudian sedikit tersenyum. Beberapa detik kemudian aku memukul-mukul kepalaku berusaha mengendalikan apa yang tengah merasukiku. Namun ternyata perasaan itu benar-benar menguasaiku dan aku tidak mampu menghadangnya.
“Yosh! (Yosh;Baiklah) hari ini aku siap.” Beberapa detik kemudian aku tiba di meja makan dan memakan beberapa roti yang ada. Papa masih belum pulang dan aku terpaksa pergi sendiri. “Papa tega sekali membiarkan anak gadisnya sendirian di rumah.” Aku menggerutu pada diriku sendiri. Setelah dirasa kenyang aku bergegas menuju halte bus dan mencari bus mana yang menuju sekolahku.
Aku tiba dengan perasaan riang, namun aku baru menyadari bahwa hari ini benar-benar sepi. Untuk beberapa saat aku terdiam di halte dengan perasaan was-was. Dan ketika kulihat jam yang melingkar dipergelangan tanganku ternyata waktu menunjukan pukul 05.30, sial. Ini terlalu pagi untuk perjalanan ke sekolah. Aku coba menghubungi Sayaka dan ternyata ia baru bangun. Bagaimana ini? Lelah sekali rasanya jika harus kembali ke rumah.
Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu hingga bus datang. Untuk beberapa saat seisi kota terlihat aman, namun beberapa pria dengan bekas luka datang bersamaan. Jantungku semakin berdegup kencang, hingga rasanya lututku benar-benar tak bisa menopang badanku. Oh tidak, mereka datang ke arahku.
Aku mengeluarkan handphone dan berusaha menghubungi Papa, namun panggilan terus saja dialihkan. Pria-pria tadi semakin mendekat saja dan sedikit senyuman mereka torehkan padaku. Sialan, itu bukan senyuman yang bersahabat. Itu.. senyuman..
“Kawaii ne, anata wa gakusei desuka?” Salah seorang dari 3 pria itu bertanya padaku namun aku tak tahu apa artinya. “I’m sorry, i don’t understand.” Aku coba membalas mereka sebisaku. “Hohoho Amerikajin.” Salah seorang lagi tiba-tiba seperti mencoba menebak darimana aku berasal. Dengan detak jantung yang semakin berdebar kencang akhirnya orang yang memulai pembicaraan mencengkram tanganku sambil tersenyum. Oh tidak, ini benar-benar mimpi buruk, aku menutup kedua mataku dan berharap ini semua hanya mimpi. Tapi aku tahu ini semua nyata terasa jelas dari tanganku yang terasa sakit setelah beberapa saat.
Dari kejauhan terdengar suara sepeda motor dan berhenti tepat dimana kami berada. Oh tidak, jangan sampai komplotan pria ini lagi. Aku masih menutup kedua mataku karena rasa takut yang semakin menguasaiku. Namun seseorang yang baru turun dari sepeda motor seperti berusaha bernegosiasi. Suaranya, tunggu. Aku tahu suara ini, dan ketika aku coba membuka sebelah mataku ternyata benar itu Kaneki. Mereka seperti tengah beradu mulut. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi setelah beberapa saat akhirnya pria asing tadi melepaskan lenganku dan kembali berjalan bersama teman-temannya.
“Jadi, apa yang kau lakukan ditengah pagi buta begini?” Kaneki coba memulai pembicaraan.
“Aku kira, ini sudah pukul 06.30 karena cahaya mataharinya terlihat sama dengan kemarin. Jadi aku bergegas pergi tanpa melihat jam terlebih dahulu.” Ucapku yang masih sedikit ketakutan. “Kaneki, sebenarnya siapa mereka? Tanganku terasa sakit sekali.” Dengan penuh rasa penasarah aku bertanya pada Kaneki yang sedari tadi memperhatikan lenganku.
“Yakuza.” Matanya beralih menatap mataku.
“Apa itu Yakuza?” Dengan sedikit canggung aku kembali bertanya padanya.
“Sebuah gank besar yang ada di Jepang, mereka tersebar dimana-mana. Mereka sangat ditakuti. Jadi kau jangan coba-coba berurusan dengan mereka.” Ucap Kaneki sambil menunjuk batang hidungku.
“Lalu bagaimana kau menghadapinya?”
“Ra-ha-si-a. Ayo kita pergi bersama. Atau kau masih mau menunggu bus dan berharap Yakuza itu datang lagi?”
“Bagaimana dengan Aoi?”
Dia sepertinya tidak ingin menjawab dan berencana meninggalkanku yang masih diselimuti rasa penasaran, ketika dia menginjakan gigi di motornya aku baru tahu bahwa dia serius. Dengan masih tersisanya rasa takut didalam hatiku akhirnya aku bersedia pergi bersama Kaneki meskipun aku tahu, pergi bersamanya hanya akan membuat jantungku berdegup kencang lagi.








***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Dream in Tokyo ` Part 4


Dalam sepersekian detik, aku jatuh ke lantai. Meskipun begitu bola basket sama sekali tidak mengenaiku. Cengkraman itu perlahan meregang. Namun rasa dingin bercampur panasnya masih terasa. Dingin karena telapak tangannya benar-benar terasa seperti es dan panas karena cengkramannya sangat erat.
Begitu aku membuka mata, Kaneki menatapku dengan tatapan kesal. Mata kami saling bertemu, untuk sesaat aku hanya melihat matanya. Mata yang memang dimiliki orang Indonesia kebanyakan.
“Apa kau buta? Atau kau sengaja melakukannya?” Nada suaranya terdengar begitu kencang sampai seisi gedung sekolah hening selama beberapa saat.
“Maafkan aku.” Aku melepaskan tangannya yang masih memegangi lenganku. “Terima kasih karena telah menolongku.” Kyoko membantuku berdiri sambil sesekali membetulkan posisi kacamatanya yang terlihat sudah longgar.
“Kau tidak apa-apa?” Sayaka berlari kearahku dan juga menopangku yang sedikit terkejut.
“Teman-teman, maafkan aku. Aku memang tidak pandai dalam berolah raga, oleh karena itu aku akan meminta ijin pada Matsuda-sensei agar memberiku keringanan.” Aku seolah menjelaskan situasinya pada Sayaka dan Kyoko, mereka tampak lebih mengerti, dan menemaniku menemui Matsuda-sensei.
Dilihat dari ujung mataku, sepertinya Kaneki merasa bersalah telah membentakku, bagaimana tidak, meskipun sebenarnya aku berniat menjelaskan masalahku pada Sayaka dan Kyoko namun sepertinya Kaneki berhasil mencuri dengar, dan setelah itu ia terlihat tampak lebih terpukul.
Pelajaran olah raga selesai, kami menuju kantin untuk membeli air mineral meskipun aku tidak tahu kenapa aku ikut-ikutan membelinya padahal aku hanya duduk-duduk dipinggir lapangan, meskipun sesekali aku diajari Sayaka bermain namun hasilnya lemparanku malah mengenai anak kelas sebelah dan membuatnya meringis kesakitan.
Ketika hendak membeli air mineral, jalanku dipotong oleh seorang pria yang sudah tidak asing lagi bagiku. Untungnya kali ini ia tidak menabrakku dan membuatku terjatuh seperti di bandara. Ia memberikan air minum yang baru saja ia beli tepat ke arahku.
“Maafkan aku, telah membentakmu. Ambillah ini sebagai tanda permintaan maafku.” Kaneki seolah berharap lebih untuk itu. Minuman gratis apa salahnya ku ambil.
“Oke, baiklah.” Aku mengambilnya kemudian meneguknya. “Dan satu hal lagi, dia Papaku.” Kaneki membuat kontak pandangan yang tegak lurus kemudian tertawa terbahak-bahak. Deretan gigi putih yang berderet rapi terlihat sangat jelas disana.
“Benarkah itu?” ia menghentikan tawanya kemudian merubahnya menjadi tawaan kecil yang terdengar sedikit renyah.
“Emm.”
“Kalau begitu sampaikan maafku padanya.” Kali ini ia terdengar lebih serius.
“Ok.”
Aku berlalu dan menghampiri Sayaka dan Kyoko, sepertinya dua anak itu membicarakanku diam-diam. Dan berhenti ketika aku hampir sampai pada mereka.
“Ada apa?” tanyaku yang sedikit penasaran.
“Kau beruntung bisa berbicara dengan Kaneki, meskipun dia populer tapi tak ada wanita yang bisa mengobrol dengannya kecuali Aoi. Lagi pula kalian menggunakan bahasa apa tadi? Sepertinya hanya kalian yang tau?”
“Oh, kami menggunakan bahasa Indonesia. Tunggu, aku baru menyadarinya. Bagaimana bisa dia berbahasa Indonesia?” tanyaku pada diri sendiri namun nyatanya aku berhasil melontarkannya pada mereka.
“Bagaimana ku tahu.” Jawab keduanya sambil mengangkat tangan bukti mereka tidak tahu.
Kaneki benar-benar telah mengundang banyak tanda tanya, aku semakin tertarik akan rahasia-rahasianya. Kepopulerannya jelas saja, dia memiliki wajah yang tampan, tinggi nya ideal dan bisa dibilang menyaingi aktor-aktor tampan Jepang.
Hari ini Papa tidak bisa menjemputku karena urusan di kantornya. Entah kenapa rasanya sulit membawa sendiri kendaraan pribadi jika melihat warga sekitar yang jarang menggunakannya. Kebanyakan dari mereka lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi oleh karena itu aku merasa malu dan lebih memilih menggunakan kendaraan umum bersama teman-teman dibanding membawa sepeda motor yang tersimpan di garasi.
Bus yang menuju kerumahku telah datang. Aku beserta teman-teman yang lain segera menaiki bus itu meskipun rasanya masih betah tinggal di sekolah. Entah mengapa tapi sepertinya ada sesuatu di sekolah yang membuatku merasa betah. Sesekali aku memandangi sekolah sebelum bus benar-benar pergi. Ketika aku menerawang jauh kesana, mataku tertuju pada sosok Kaneki yang berada di pintu utama sekolah. Disebelahnya, tentu ada Aoi yang setia menggandengnya kemanapun ia pergi. Meskipun begitu pandangan Kaneki tepat menuju kearahku, untuk memastikan aku melihat sekeliling dan tak ada orang lain disana. Sesaat sebelum bus benar-benar pergi aku bersumpah melihatnya tersenyum. Senyuman yang membuatku benar-benar tak bisa berkutik.








***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Dream in Tokyo ' Part 3


Hari telah berlalu begitu cepat, setidaknya bayanganku soal Tommy sudah mulai memudar, ia mungkin tidak tahu bagaimana cara menghubungiku dan mungkin juga ia sudah benar-benar lupa akan diriku dan menggatikannya dengan Vreya.
Begitu sampai di pintu gerbang, rasanya sedikit gugup. Beberapa gadis perempuan menyapaku terlebih dahulu, mungkin karena aku terlihat ‘baru’ dimata mereka. Aku coba berbaur diantara mereka dengan bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris.
Sepertinya beberapa bulan disini akan membuatku lupa bagaimana caranya bersifat sinis. Bagaimana tidak, setiap kali berpapasan dengan siswa lain aku terus menerus tersenyum dan membungkukan badanku, tapi entah mengapa sepertinya itu terapi yang dapat mengubah diriku ke masa-masa dulu sebelum hal ‘itu’ terjadi.
 Aku mulai masuk kelas pertama, seperti layaknya sebuah tradisi aku berdiri didepan kelas untuk memperkenalkan diri, tatapan seluruh siswa disana semuanya sama, namun hanya ada satu yang benar-benar menusuk tepat ke arahku. Benar, dia adalah pria yang menabrakku 2x kemarin. Mengapa dia harus ada disini? Mengapa harus sekelas denganku? Seolah-olah dunia ini sangat sempit.
Fujiko sensei (sensei; orang yang dihormati) mempersilahkanku duduk, tepat didepan pria asing itu. Benar-benar menyebalkan, kenapa harus disana kursi yang kosong? Aku merapikan catatanku, sebisa mungkin lebih beradaptasi dengan suasana kelas di Jepang. Tidak banyak berubah dari sekolahku dulu, hanya saja disini terasa lebih dingin, terlebih posisiku saat ini tepat dipinggir jendela besar yang dipenuhi embun di seluruh permukannya.
“Ternyata kau masih sekolah? Bagaimana dengan om yang kemarin?” Seseorang dari belakang berbicara dalam bahasa Indonesia, mendongakkan kepalanya tepat kepinggir badanku.
“Kaneki-kun!” tampaknya Fujiko-sensei telah memperingatkannya karena kelas benar-benar telah dimulai. “Haii..” suara pria itu terdengar sedikit kesal. Aku coba mengikuti pelajaran dengan cukup baik, entah mengapa rasanya disini benar-benar membuatku lebih baik. Dan satu hal lagi, nama pria itu adalah Kaneki.
Awalnya aku kira disini hanya tempat untuk melampiaskan kekesalanku, namun setelah dijalanai, aku mulai merasa seperti air yang mengalir, tenang dan tidak tenggelam. Lebih nyaman dari yang kubayangkan.
“Bagaimana hari pertamamu di sekolah Rifka? Apakah menyenangkan?” Tanya Papa berantusias sambil membukakan pintu mobilnya agar aku segera masuk.
“Hmm, tentu. Tapi pa, apa kau tahu? Orang yang memanggilmu om ternyata sekelas denganku.”
“Lalu bagaimana?”
Aku bercerita banyak pada Papa tentang hari ini, entah mengapa aku jadi banyak bicara. Tunggu, sepertinya otakku benar-benar mengalami kesalahan. Tapi entah mengapa aku menyukainya. Suasana baru memang dapat merubah segalanya.
***
Keesokan harinya aku memulai hari-hari normalku lagi, beberapa teman wanita yang kemarin mendatangiku secara bersamaan kali ini mereka melakukannya lagi. Tentunya aku sama sekali tidak ingat nama mereka. Nama-nama dari bahasa Jepang memang sulit untuk aku ingat, untungnya tanpa diberi aba-aba mereka coba perkenalkan diri mereka masing-masing lagi.
“Kaneki, chotto.” (Chotto; tunggu)
Gadis yang sama ketika aku keluar dari kedai berlari mengejar Kaneki, ketika tepat dihadapanku ia berhenti seolah aku adalah ranjau berduri yang membuatnya berhenti tak meneruskan langkahnya.
“Omae.” (Omae; kamu) gadis itu menunjuk-nunjukan jarinya tepat kearahku dengan berusaha menyatukan kedua alisnya yang terpisah, tak lama ia menurunkan lengannya, menghilangkan kerutan di keningnya lalu kembali mengejar pria yang kemungkinan besar adalah Kaneki.
“Apa kalian mengenalnya? Maksudku gadis itu?” Aku coba bertanya pada teman-teman baruku.
“Ya, tentu. Dia adalah anak dari pemilik sekolah ini. Meskipun begitu dia sangat manja terlebih pada Kaneki. Namanya Aoi Fukawa.”
“Bagaimana dengan Kaneki?” aku coba menanyakan hal yang sepertinya tidak perlu.
“Kaneki itu memiliki silsilah keluarga yang rumit, dia memiliki 2 Ayah. Orang-orang tidak banyak tahu mengenai cerita keluarganya. Mereka cenderung menutup nutupinya, tapi sepertinya Ibu Kaneki benar-benar hebat memiliki 2 suami sekaligus.” (Baca Futago) Jelas Sayaka
“Benarkah itu?” tanyaku yang sangat penasaran mengenai cerita kehidupannya.
“Tentu.” Jawab Kyoko singkat. Gadis berkaca mata itu semakin mempertegas penyataan Sayaka.
Sepertinya cerita itu memang benar adanya, kalau benar-benar itu terjadi sepertinya dia lebih beruntung. Andai orang tuaku tidak bercerai layaknya orangtua Kaneki, dan setidaknya aku bisa seolah-olah tidak merasakan adanya Randi dalam kehidupanku.
Bel masuk telah berbunyi, hari ini dipelajaran pertama adalah olahraga. Dengan semangat ’45 aku menuju gedung olahraga bersama Sayaka, Kyoko dan yang lainnya. Entah mengapa setibanya di ruang olahraga aku baru sadar bahwa aku tidak memiliki kemampuan apapun dibidang olahraga. Langkah kakiku yang riang, begitu tiba disana lebih kaku dari biasanya, entah itu dingin karena cuaca yang tak bersahabat atau aku baru sadar aku benar-benar tidak pandai olahraga?
Matsuda-sensei meneriaki namaku dan Kaneki untuk bertugas piket di minggu ini, membawa bola di gudang belakang gedung olahraga. Sial, kenapa harus Kaneki? Aku tidak ingin ada percakapan yang membuatku terlihat konyol dengannya.
“Rifka, Can you hear me?” Matsuda sensei berteriak lebih kencang
“Haii, haii.” Tanpa sadar aku ikut-ikutan berbicara bahasa Jepang.
Aku membuntuti Kaneki dari belakang, entah kenapa raut mukanya kali ini terlihat lebih dingin, dan satu hal lagi. Ia sama sekali tidak membahas tentang Papa.
Begitu keluar dari gedung olahraga rasa dinginnya semakin terasa menusuk. Meskipun begitu Kaneki tidak terlihat menggigil. Ia sama sekali tidak banyak bicara bahkan ia sepertinya tidak menyadari keberadaanku yang sedari tadi ada di sebelahnya. Bahkan ia hampir membawa troli besi berisi bola basket sendirian. Sedikit heran atas tingkah lakunya, namun sepertinya ia sedang mengalami masalah yang cukup besar.
Tumpukan salju menghiasi sepanjang koridor menuju gedung olahraga. Seraya membawa troli besi berisi bola basket, aku mengagumi gumpalan kapas putih yang sebagian bertebaran sebagian lagi telah menumpuk. Tadi pagi belum ada salju turun, dan ini pertama kalinya aku melihat salju. Benar-benar mengagumkan.
Rasa kagumku berhenti ketika harus berbelok menuju gedung olahraga. Hingga tiba disana, Kaneki sama sekali tidak berbicara padaku. Pandangannya kosong, aku semakin penasaran dengan apa yang dipikirkannya. Terasa aneh ketika biasanya ia mengejekku tiba-tiba diam membisu.
Aku mengikuti teman-teman lain yang tengah melakukan pemanasan, meskipun aku tidak tahu untuk apa melakukan pemanasan, toh pada akhirnya aku lebih memilih ijin berdiam diri dibanding melukai teman-temanku karena permainanku yang payah.
Mataku tetap tertuju pada Kaneki, sesekali ia tersenyum tapi senyumnya seperti hambar. Mungkinkah ia mengalami masalah dirumahnya? Jika itu yang terjadi aku akan sangat khawatir padanya, karena aku sendiri sempat mengalami hal menyedihkan itu.
Peluit tanda permainan telah dimulai. Ketika aku akan menjelaskan situasinya pada Matsuda sensei, sebuah bola basket meluncur tepat kearahku. Seperti biasa, sulit sekali untuk menghindarinya, kakiku terasa benar-benar kaku apalagi mungkin rasa dingin yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ketika aku sudah menutup mata dan menunggu hantaman bola, tiba-tiba lenganku dicengkram dengan erat. Cengkraman ini rasanya sudah pernah aku dapatkan.








***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Dream in Tokyo ` Part 2


                Akhirnya aku tiba di salah satu bandara setelah beberapa jam berada diatas langit. Ini pertama kalinya aku menginjakan kaki di Jepang. Bandara Haneda ini merupakan lokasi pertama sebagai tempat pelarianku. Meskipun Papa warga negara asli Jepang, namun ini pengalaman pertamaku setelah 17tahun lahir ke dunia. Setelah beberapa meter berjalan menjauh dari pesawat seseorang bertubuh tinggi dengan badan yang cukup kekar menabrakku dengan cukup kencang.
                “Aduh.” Teriakku cukup kencang, dia menabrakku hingga duduk dilantai.
“Ahh ano, tsumimasen.” (tsumimasen; maaf) dengan sigap ia kembali membantuku merapikan barang-barang yang sedikit berceceran. Selagi merapikan barangku, tak sengaja aku menatap matanya. Tidak seperti orang Jepang kebanyakan, meskipun aku tahu sepertinya ia penduduk asli di Jepang dari caranya berbicara. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena sama sekali tidak bisa berbahasa Jepang. Setelah selesai dia membantuku berdiri, kami sama-sama berdiri dan akhirnya aku tahu tingginya kurang lebih 10senti lebih tinggi dibandingku yang hanya 162senti, kemudian ia mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Jepang dan dengan cepat ia berlalu.
Aku berdiri perlahan, rasanya kakiku sedikit terkilir. Belum apa-apa aku sudah diberi kenangan buruk oleh warga Jepang. Benar-benar menyebalkan. Ketika tengah merasakan rasa sakit yang mulai menjalar, seorang wanita menghampiriku dan coba menekan pergelangan kakiku dengan hati-hati. Ajaibnya kakiku perlahan tidak terasa sakit, wanita itu kembali berdiri kemudian tersenyum dan menghilang setelah beberapa saat.
Sedikit heran tapi rasanya kakiku benar-benar bisa digerakan lagi. Syukurlah. Aku kembali berjalan-jalan mencari Papa yang sudah berencana untuk menjemputku. Sedikit khawatir melihat orang-orang yang memiliki wajah yang mirip dengan Papa. Namun kekhawatiranku akhirnya terpecahkan.
Seorang pria melambai-lambai tepat kearahku. “Rifka..” dan dia juga memanggil namaku. Yah, itu papa. Meskipun papa orang Jepang asli tapi aku sama sekali tidak diperbolehkan belajar Bahasa Jepang oleh Mama, entah apa alasannya yang jelas itu sedikit mempersulitku tadi, tapi syukurlah berkat adanya Papa kesulitanku sedikit berkurang.
Papa menyambutku dengan riang, sebenarnya bisa dibilang papa lebih mengerti dibanding Mama. Setelah perubahanku yang cukup drastis, yang pertama menyadarinya adalah Papa. Dia tampak lebih terpukul begitu sadar aku telah berubah dan terus menerus menyalahkan dirinya, akhirnya setelah rasa kasihan pada Papa mulai merasuki pikiranku, dibantu dengan Tommy yang perlahan menyadarkanku, akhirnya perlahan kutinggalkan kebiasaan burukku meski tak sepenuhnya aku tinggalkan.
“Rifka kenapa kau lama sekali? Papa menunggumu dari tadi.”
“Maaf Pa, tadi ada orang sialan yang menabrakku dengan cukup kencang.”
“Siapa nak?” Papa bertingkah seolah akan benar-benar menghabisi orang yang menabrakku tadi.
“Sudahlah, lupakan Pa. Aku sudah lelah, bisakah kita pulang sekarang?”
“Baiklah, tapi sebelum itu kita makan malam dulu.” Papa menggandeng tanganku seolah aku adalah kekasihnya. Umur Papa memang tak lagi muda, namun dilihat dari penampilan dan wajahnya, bisa dibilang tidak berbeda jauh denganku. Hanya saja dia berkumis.
Kami tiba di sebuah kedai di dekat bandara, meskipun hanya kedai biasa tapi cukup rapi dan bersih. Kami membeli sup miso disana, meskipun kelihatannya lidahku belum bisa beradaptasi namun cita rasanya yang menggairahkan membuatku dapat menghabiskan semangkuk sup miso tak bersisa. Papa sesekali melirikku, namun aku tak menghiraukannya. Rasanya ini menjadi poin pertama untuk kedatanganku di Jepang.
Setelah cukup mengganjal perut, akhirnya kami bergegas pulang namun saat kami hendak keluar, seorang pria kembali menabrakku.
“Aw sialan, ini kedua kalinya dalam sehari.” Tak sadar aku mengekspresikan kekesalanku dengan cukup keras. Papa dengan sigap membantuku berdiri, pria yang menabrakku kali ini, tunggu, dia orang yang sama yang telah menabrakku di bandara. Sialan, orang ini sepertinya benar-benar cari mati.
“Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Kali ini pun tidak sengaja” Pria tadi sepertinya mengenaliku, orang yang ditabraknya saat di bandara. Dan kali ini dia fasih berbahasa Indonesia.
Papa tiba-tiba memotong “Sepertinya dia tidak apa-apa.” Pandangan pria itu beralih memandangi Papa, raut mukanya sedikit berubah dari cemas menjadi sedikit marah. Meskipun bukan ahli tebak fikiran tapi aku dapat memprediksinya. Tunggu, marah? Kenapa?
“Hei, kamu sebaiknya ikut denganku. Kau tidak boleh sembarangan ikut dengan pria asing ini. Berbahaya tiba-tiba berkenalan dengan om ini.” ucap orang asing itu pada Papa. Saat ini tangannya menggenggam tanganku. Sesekali aku melihat raut muka Papa yang tampak jengkel, tapi aku benar-benar menikmati adegan ini. Benar-benar konyol.
Saat menikmati adegan itu, mataku berpaling pada wanita yang sedari tadi menemani pria itu, ia tampak sedikit kesal dan juga bingung karena adegan ini diperankan dalam bahasa Indonesia. Tunggu, ini sepertinya adegan dalam opera sabun. Aku tak kuasa menahan tawa dan akhirnya aku berhasil meluapkannya. Dengan cepat aku melepaskan genggaman pria tak dikenal tadi dan mendekat kearah Papa, dengan menarik lengan Papa aku berlalu sambil mengucapkan “Memangnya apa pedulimu?” Kami akhirnya berlalu meninggalkan pria tak dikenal itu, meskipun sebenarnya aku benar-benar masih ingin mempermainkan Papa.
Kami memasuki mobil, sepertinya Papa masih merasa kesal atas apa yang diucapkan pria asing tadi. Tapi dengan segera aku mencari topik baru.
“Papa, aku tidak bisa berbahasa Jepang, bagaimana aku sekolah nanti?”
“Tenang saja, Papa sudah dapatkan sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa standar, aku tahu bahasa Inggrismu selalu diatas rata-rata bukan?”
“Tentu saja.”
“Kau akan mulai masuk kapan? Besok?”
“Oke, aku sudah tidak sabar menantikannya Pa!”
Aku menikmati perjalanan malam di kota Tokyo, sepertinya semakin malam bukannya semakin sepi, malah semakin ramai. Sepertinya tinggal disini akan menyenangkan.








***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

Dream in Tokyo ` Part1


             Angin sore kali ini terasa lebih dingin, mungkin karena beberapa jam yang lalu hujan menyapu sekitar rumahku. Perlu waktu beberapa saat untuk bangun, hingga akhirnya aku benar-benar duduk diatas tempat tidur yang terasa lebih lengket dari biasanya. Aku memandangi jam dinding yang menggantung tepat di sebrang tempat tidurku. Pukul 3, sebentar lagi aku harus benar-benar berangkat.
                Aku menurunkan kakiku perlahan hingga menyentuh lantai yang sigap menopang tubuhku yang lebih berat akhir-akhir ini. Mungkin karena terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu, akhirnya aku melampiaskannya dengan memakan cemilan yang tersedia dalam kulkas, dan efek yang dihasilkannya, jelas tubuhku lebih berat dari biasanya.
                Perlahan-lahan aku berjalan menjauh dari kamarku yang sebentar lagi takkan kuhuni lagi. Rasanya sedikit berat untuk melangkahkan kaki dan bersiap-siap pergi. Disini aku telah hidup selama 17 tahun, dalam sekejap aku harus pergi, dan  kemungkinan besar takkan kembali. Dengan langkah gontai aku berusaha menyembunyikan rasa malasku dan bersiap-siap pergi.
                Satu persatu ku turuni anak tangga yang menghubungkan kamarku dengan ruang keluarga. Sekilas aku melihat kearah dapur karena suara yang ditimbulkannya. Mama sedang memasak. Entah apa yang kali ini ia buat, makanan perpisahan mungkin?
                “Ah Rifka, kau sudah bangun? Sebentar lagi masakannya selesai. Kau bisa mandi sambil menunggu.” Seolah tak menghiraukannya, aku bergegas memasuki kamar mandi sesegera mungkin. Airnya terasa lebih dingin dari biasanya, setidaknya cukup untuk membangunkanku.
                Setelah selesai aku kembali ke kamar dan memilih baju mana yang harus ku pakai, akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan kaus biru dan celana jeans pendek dengan beberapa robekan di ujungnya. Aku ingat, waktu itu aku sengaja merobeknya ketika frustasi mendengar perceraian kedua orang tuaku tahun lalu. Pakaianku dulu semuanya terlihat normal hingga hal itu terjadi. Ingin sekali melupakan kejadiaan yang tak seharusnya terjadi dengan pergi bersama teman-teman, namun ketika aku coba bergabung, semuanya menertawakanku. Kaos yang kebesaran dan celana panjang sepertinya menjadi bahan lelucon untuk mereka, dan tanpa pikir panjang aku merobeknya tepat didepan mereka dan akhirnya aku bisa diterima. Ketika sampai dirumah, tak satupun dari mereka yang benar-benar melihatku, akhirnya aku melakukan hal itu setiap hari. Rasanya sedikit rindu mendengar mereka memarahiku namun hal itu takkan pernah terjadi lagi.
                Tiba-tiba suara handphone mengaburkan ingatanku yang tengah kembali ke masa lalu. Sebuah pesan masuk dari Tommy. Aku melihatnya sekilas dan kembali melemparkan benda itu ke tempatnya semula. Setelah semuanya siap aku bergegas menuju mobil yang terparkir di halaman rumah dan memasukan semua barang-barang yang sudah aku kemas.
                “Rifka, sebelum pergi kau harus makan dulu. Mama sudah menyiapkannya untukmu.” Dari mulut pintu terlihat Mama berteriak semangat layaknya tim chearleader di sekolah. Entah harus aku abaikan permintaannya kali ini atau aku menurutinya, itu menjadi dilema yang cukup besar. Entah mengapa bisikan untuk kembali dan menyantap sedikit makanan yang telah Mama buat, merupakan keputusan yang kurasa harus diambil.
                Dengan enggan aku melangkahkan kaki kedalam rumah untuk menyantap makanannya. Selama makan tidak ada percakapan yang cukup berarti. Aku lebih banyak mengangguk dan menggelengkan kepala hingga akhirnya aku sadar makanan yang ada telah menghilang begitu saja. Setelah dirasa cukup, akhirnya aku  kembali ke arah mobil yang sedari tadi setia menungguku dan bergegas memasukinya.
                Mama memulai percakapan sambil menarik sabuk pengaman yang ada di pundaknya. “Apa kau benar-benar ingin pergi?”. Pertanyaan itu lebih sering terdengar akhir-akhir ini, dengan lantang aku menjawab “Tentu Ma. Aku benar-benar ingin tinggal disana bersama Papa.” Dengan tatapan yang sedikit khawatir akhirnya Mama mengangguk perlahan. “Baiklah kalau begitu, aku percaya kau akan baik-baik saja bersama Takao”
                Mama mengantarkanku ke bandara, ia berada dibalik kemudi sedangkan aku berada disampingnya. Jendela mobil kubiarkan terbuka, agar untuk terakhir kalinya aku menghirup udara di Bandung ini. Sesekali aku mengeluarkan tanganku dan coba meraih sesuatu yang tak pernah bisa ku genggam.
                Setelah beberapa jam melalui perjalanan akhirnya aku tiba di bandara, pertanyaan yang sama Mama lontarkan kembali.
                “Ini yang terakhir sebelum kau pergi. Benarkan kau yakin ingin tinggal bersama Papa?”
                “Emm, aku ingin coba sesuatu yang baru, rasanya sudah bosan melakukan hal yang sama setiap saat.”
                “Bagaimana dengan Tommy? Bukankah kalian sudah berteman sejak kecil? Mungkin dia akan sangat merasa kehilangan”
                Salah satu alasanku untuk pergi adalah karena dia. Tommy, orang yang paling lama menghabiskan waktu  denganku benar-benar membuatku kecewa. Aku melihatnya menggandeng sahabatku sendiri, Vreya. Aku sedikit menjauh dari mereka berdua dan ketika Tommy benar-benar mendesakku akhirnya aku buka mulut mengenai janji kami sewaktu masih kecil. Kami telah berjanji untuk menikah suatu saat nanti, namun nyatanya ia benar-benar mengkhianati janji yang kami buat dengan alasan “Itu hanya omong kosong, kita membuatnya saat masih kecil sebelum aku tahu apa artinya semua itu.” Kata-kata itu yang selalu memberikan dorongan agar aku pergi dan bisa melupakannya.
                “Rifka?” Ibu benar-benar membangunkanku dari lamunan kelam, entah mengapa akhir-akhir ini aku lebih sering melamun.
                “Bu.. bukan, bukan karena itu.”
                “Maksudmu nak?” Mama tampak heran dengan jawaban yang begitu saja terlontar dari mulutku.
                “Oh, tadi mama bilang apa?” Aku coba mengulangi pertanyaannya.
                “Sudahlah lupakan, Rifka maafkan mama karena tidak bisa mengantarmu hingga Tokyo. Mama harus bergegas menyiapkan Randi makan malam, sepertinya dia akan sangat kelelahan hari ini.”
                “Tidak apa-apa Ma, aku bisa sendiri.”
                Alasan kedua untukku pergi adalah karena kehadiran Randi. Bukan, maksudku Ayah tiriku yang beberapa hari ini telah tinggal bersama kami. Itu yang menjadi alasan keduaku untuk benar-benar pergi meninggalkan Bandung.
                Langit berwarna kuning keemasan, sedikit lebih hangat dibanding saat dirumah. Akhirnya dengan latar seperti inilah aku harus berpisah dengan Mama dan berharap kehidupan disana akan jauh lebih berbeda dibanding dengan keadaan disini. Aku melambaikan tangan dan satu persatu menaiki tangga yang mengarah kedalam pesawat. Semoga penerbangannya menyenangkan.







***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'

- Copyright © 2013 シズカ 近松's Blog ^^ - Ore no Imouto - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -