Dream in Tokyo ` Part 11
“Jadi, maukah
kau lanjutkan percakapan kita yang sempat terhenti?” Setelah cukup kenyang, aku
memaksanya melanjutkan apa yang tengah kami bicarakan saat diperjalanan.
“Kau sangat
berantusias sekali bila membicarakan pria asing tadi.” Ucap Tommy sambil
menyeka mulutnya.
“Ti..tidak,
tidak. Bukan seperti itu maksudku. Hanya saja aku sedikit penasaran dengan
pernyataanmu tadi.” Aku berusaha mencari alasan yang cocok untuk saat ini.
“Baiklah,
jujur saja aku merasa telah digantikan olehnya. Tapi kau harus ingat. Jangan
dulu mempercayai pria asing. Berbahaya, bisa saja dia memiliki niat buruk
padamu. Kau tahu, aku sangat mengenalmu melebihi siapapun, dan aku tak ingin
kau terluka olehnya.”
“Kaneki orang
baik, dia menyelamatkanku 2x hari ini.”
“Bisa saja itu
hanya kedoknya.”
“Sepertinya ia
tulus.”
“Kalian baru
saja saling mengenal. 95% pria itu jahat menurutku. Jika ia tidak menyentuhmu,
tidak memperlakukanmu dengan lembut seolah kau pacarnya, tidak membuatmu
melakukan apa yang seharusnya dilakukan orang asing baru aku percaya padanya.
Kecuali kalian sudah lama saling mengenal.”
Tunggu, pagi
tadi Kaneki menyuruhku memeluknya dengan alasan aku harus memasukan tanganku
kedalam saku jaketnya dan tadi saat mengantarnya ke UKS, dia.. dia memelukku
dan tiba-tiba saja dia menggenggam tanganku saat bertemu Tommy. Oh tidak, dia
melakukan semua hal yang Tommy bicarakan .
“Dan juga
sepertinya ia suka mempermainkan wanita. Aku bisa melihatnya dari cara wanita
tadi menggandengnya.” Aku hanya terdiam memikirkan semua ucapan Tommy. Apa aku
benar-benar salah menilai Kaneki?
Tak lama
seseorang yang kukenal datang kedalam restoran yang sama. Ya, itu Kaneki
bersama Aoi. Seperti biasa Aoi tak pernah melepaskan tangannya dari Kaneki, dan
Kaneki? Ia memang tampak menyebalkan seperti apa yang Tommy gambarkan.
Pada akhirnya,
mata kami saling bertemu. Entah mengapa perasaan tak menentu ini tiba-tiba
datang lagi. Padahal aku kira, aku akan sedikit membencinya kali ini namun
perasaan ini masih tetap sama.
Aoi mengikuti
pandangan Kaneki, akhirnya Aoi mengajak Kaneki untuk mendekat kearah kami. Aoi tampak
senang bertemu dengan kemi, maksudku bertemu dengan Tommy. Semua kursi telah
penuh dan akhirnya Tommy angkat bicara.
“Kalian boleh
bergabung bersama kami.” Ucap Tommy mempersilahkan Aoi dan Kaneki untuk duduk.
Tunggu.
Bergabung? Dengan mereka? Oh tidak. Dengan riang Aoi menerima tawaran Tommy dan
akhirnya mereka duduk bersama kami. Aku duduk disamping Tommy dan bersebrangan
dengan Kaneki. Kenapa harus seperti ini? Sialan.
Aku tidak bisa
fokus dan mengendalikan diriku. Duduk berhadapan dengan Kaneki, membuatku gerogi.
Meskipun tadi pagi kami melakukan hal yang sama tapi bila disebelah kami
masing-masing bersama seseorang rasanya sedikit tidak nyaman.
“By the way, thank you for saving Rifka twice
in one day” Mataku tiba-tiba menoleh kearah sumber suara berasal. Tampaknya
Kaneki mengikuti gerakanku.
“No problem.” Balas Kaneki singkat.
Tiba-tiba mata Aoi menyipit kearahku. Pandangan yang selalu ia berikan setiap
kali bertemu denganku. “You’re saving her?”
Ia meminta penjelasan lebih lanjut pada Kaneki, tapi Tommy kembali memotong.
“But now, i’ll beside her everywhere, and you
don’t touch her again. She’s mine. You’d
be better stay away from her” Kata-kata itu seketika membuatku semakin
membelalakan mata.
“Tentu jika
dia lebih memilihmu.” Kaneki tampaknya tidak mau kalah.
“Hohoho
ternyata kau bisa berhasa Indonesia juga. Bagiku memang kau memiliki nilai
lebih, tapi kau tetap jauh bila dibandingkan denganku.” Oh tidak, tampaknya
mereka akan memulai pertengkaran lagi disini. Aoi tampak bingung atas apa yang
sedang terjadi, akhirnya untuk mencegah pertengkaran lebih lanjut aku membujuk
Tommy untuk segera mengantarkanku pulang dan untungnya ia segera menyanggupi
tanpa berbasa-basi. Meskipun tak melihatnya tapi aku tahu Kaneki sedang
memandangi kami saat pergi.
Selama
perjalanan pulang banyak sekali hal yang aku pikirkan. Baik itu Tommy maupun
Kaneki. Seluruh pernyataan dan tingkah laku mereka membuatku tak bisa berpikir
dengan jernih. Aku membenarkan perkataan Tommy dan seluruh penilaiannya pada
Kaneki namun disisi lain hatiku menyalahkan pemikiranku. Meskipun aku
membenarkannya, namun begitu melihat Kaneki perasaan kesalku padanya tiba-tiba
menghilang. Dan hatiku juga beranggapan semua yang dilakukannya padaku
semata-mata agar dia mampu melindungiku. Mencegah agar aku tidak kedinginan
karena cuaca pagi tadi dan juga memeluk karena aku benar-benar merasakan sesak
yang sangat dalam.
“Aku merasa
kasihan pada wanita yang bersamanya.” Tiba-tiba perkataan itu membangunkanku
yang masih seperti terbawa mimpi. “Dia begitu polos hingga mau ditipu pria
menyebalkan.” Kata-kata dengan nada yang sama, kembali terdengar. “Aku tidak
akan mebiarkanmu merasakan hal yang sama seperti gadis malang tadi.” Tommy
kembali membuatku bimbang. “Karena aku teman terbaikmu bukan?” Tiba-tiba
pernyataan itu sedikit membuatku tenang. “Dan kita akan menikah saat kita
dewasa nanti. Seperti apa yang telah kita janjikan.” Dan pernyataan terakhirnya
seperti memberikanku sebuah beban yang sangat berat. Mungkinkah ia merasakan
hal yang sama ketika aku menentang Tommy dan Vreya?
***JANGAN
LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN
KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI
PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
Dream in Tokyo ` Part 10
“Jika aku
tidak sungguh-sungguh untuk apa datang kemari? Kau mengerti maksudku bukan?”
Tommy tampak berusaha meyakinkanku.
“Bagaimana
dengan Vreya?”
“Dia akan
baik-baik saja. Tapi aku tidak berpikir kau baik-baik saja disini. Jadi aku
memutuskan untuk menyusulmu kemari.”
“Bagaimana kau
tahu aku disini?”
“Emm.. Jika
kau ingin tahu, temani aku berjalan-jalan disini. Sepertinya cuaca cukup
bersahabat.” Melihatnya memohon seperti itu sama sekali tidak menggerakan
hatiku, namun begitu Kaneki berjalan dengan Aoi tepat dihadapanku, tiba-tiba
sebuah kata meluncur begitu saja.
“Baiklah.” Oh
tidak, apa yang aku pikirkan kali ini. Kaneki sama sekali tak melihatku, entah
dia memang sengaja atau memang aku tak terlihat olehnya.
“Benarkah?
Arigatou Rifka-sama.” Kata-kata itu membuatku sadar dengan siapa aku berbicara.
Dia tampak kegirangan, raut mukanya seperti anak kecil yang diberi permen loli
oleh Ibunya.
“Jadi, kau
ingin pergi kemana?” Aku mencoba lebih bersahabat kepadanya meskipun aku tidak
tahu mengapa aku harus bersikap seperti itu padanya. Sebenarnya apa yang tengah
merasuki pikiranku?
“Hmm... Bisakah
kita mengunjungi taman hiburan? Sepertinya aku memang butuh hiburan setelah
merasakan ‘jet lag’. Padahal ini bukan penerbangan pertama kalinya, tapi ini
sering terjadi padaku. Emm, tapi kalau kau tidak ingin kesana kita bisa cari
tempat lain.”
“ Tapi cuaca
seperti ini..”
“Tumpukan
saljunya hanya sedikit kok. Tidak apa-apa.”
“Ok.”
Kami akhirnya
berjalan menjauhi gedung sekolah dan tiba di halte bus untuk segera menuju
taman hiburan. Akhirnya bus yang kami tumpangi datang juga. Sepertinya Tommy
sudah mengenal kota Jepang dengan baik, mungkin karena sejak kecil ia selalu
menghabiskan liburan di Jepang bersama Pamannya. Terkadang aku sering menangis
ketika ditinggal Tommy berlibur dan memaksa Papa untuk pulang ke kampung
halamannya, tapi Mama selalu melarangku pergi dan memaksaku untuk tetap
tinggal. Sepertinya memang benar apa kata Kaneki, sampai sekarangpun aku hanya gadis manja yang cengeng.
Akhirnya kami
berdua ada didalam bus yang menuju taman hiburan. Sesuai janji aku memaksa
Tommy untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Jadi.. bisa
kau ceritakan kronologis kejadiannya? Bagaimana kau bisa tahu aku ada disini?”
“Itu mudah,
saat aku tahu kau memutuskan pergi, tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Entah
kenapa aku seperti kehabisan cadangan oksigen begitu saja. Tanpa pikir panjang
aku berlari kerumahmu dan akhirnya aku bertemu Ibumu. Sepertiya aku telat
beberapa jam untuk bertemu denganmu. Pantas saja kau tak mau membalas pesanku,
ternyata itu detik-detik terakhir kau meninggalkan Bandung.” Ujarnya lirih.
“Lalu?”
“Setelah aku
gagal menemuimu, aku memaksa Ayah untuk memindahkanku ke Jepang. Awalnya ia
tidak setuju, nemun begitu mendengar ceritaku akhirnya ia mengijinkan dan
memesankan tiket keesokan harinya.”
“Kau
menceritakan pada Ayahmu? Tak ada bagian yang kau lewatkan?” Aku tampak tak
percaya ia melakukan semua itu untuk bertemu denganku.
“Ya, tentu.”
“Tentangku
juga?”
“Itu yang
membuat Ayah mengijinkanku pergi.”
“Kau ini...”
“Tapi sekarang
kau tahu kan? Aku benar-benar serius meminta maaf padamu.”
Aku tak bisa
menjawabnya, hanya pria bodohlah yang mau mengejar wanita hingga keluar negeri.
“Kau tahu?
Jika kau ingin meminta maaf, kau cukup mengirimku e-mail.”
“Tapi itu
tidak akan cukup. Aku tahu benar-benar tahu siapa dirimu Rifka, kau dan aku
sudah bersama sejak kecil dan kau takkan mungkin mau memaafkanku hanya dengan
e-mail saja.”
“Benar.”
“Jadi, bila
usahaku kali ini kurang cukup dimatamu, aku akan berusaha lebih lagi agar kau
memaafkanku.”
“Lagipula aku
pindah bukan hanya karenamu Tommy.”
“Biar kutebak.
Randi?”
Aku tak mau
menjawabnya. Bagaimana tidak, ia selalu mengetahui apa yang aku pikirkan tanpa
perlu memberi tahunya. “Lalu, bagaimana kau tahu aku bersekolah disana? Masuk
di kelas 11-3? Dan..”
“Kau memang
tidak berubah, pertanyaan yang kau ajukan sangat banyak. Baiklah aku akan jawab
semua pertanyaanmu Rifka. Aku mengetahui dari Ibumu bahwa kamu tinggal bersama
Ayahmu. Jadi begitu sampai aku menghubungi Ayahmu dan menanyakan padaya dimana
kau bersekolah dan dikelas apa kau sekolah disana. Jadi, apa Ayahmu tidak
memberitahumu?”
“Papa? Tidak.
Lalu kenapa kau baru masuk hari ini?”
“Sudah ku
bilang setiap melakukan penerbangan aku selalu mengalami ‘jet lag’ dan baru
hari ini kondisiku sudah membaik. Jadi, ada lagi pertanyaan lain yang harus ku
jawab?”
“Tidak.”
Aku mengalihkan
pandanganku keluar jendela, butiran butiran salju yang melayang-layang diudara.
Berusaha menikmati perjalanan kali ini, namun belum sempat aku menghayatinya
Tommy kembali memulai percakapan.
“Jadi, pria
tadi itu pacarmu?”
“Pria.. Mana?”
Dengan cepat aku mengalihkan pandanganku pada Pria yang sedari tadi duduk
disampingku.
“Pria yang
tadi membawamu menjauhiku?”
“Kaneki?
Bukan, bukan. Dia hanya teman.” Semakin lama suaraku semakin pelan saja.
“Apa kau
yakin? Sepertinya matamu mengatakan hal yang sebaliknya.”
“Tommy, kau
ini bicara apa?”
“Ah sepertinya
sudah sampai. Ayo turun.” Akhirnya kami berdua tiba di taman hiburan. Dan
seperti yang kuduga, taman hiburannya ditutup untuk sementara waktu untuk
mencegah kecelakaan karena cuaca yang kurang baik.
“Ah, sayang
sekali.”
Tommy tampak
kecewa sekali, sebenarnya aku ingin pulang tapi aku masih penasaran dengan
pernyataan terakhirnya tadi. Rasa penasaran telah membuatku mengalah dan
memutuskan untuk mencari hal lain yang mungkin bisa kami dapatkan sebagai
gantinya.
“Bagaimana
kalau mencari makanan? Perutku sangat lapar.” Aku berusaha mencari tempat yang
mungkin bagus untuk kembali melanjutkan percakapan kami didalam bus, meskipun
sebenarnya aku sedang tidak ingin makan banyak.
“Baiklah,
ikuti aku.” Tommy tampak memberi aba-aba. Kami akhirnya tiba disebuah restoran
mewah disekitar Haido Park, dengan melihat sekeliling saja rasanya dibutuhkan
banyak uang untuk sekedar mencicipi hidangan pembuka.
“Kau yakin
kita akan makan disini?” Tanyaku sedikit pelan pada Tommy.
“Mungkin ini
usaha keduaku untuk membuatmu memaafkanku.” Tommy tampak tersenyum seolah ini
cara ke-3 agar aku memaafkannya.
“Baiklah, asal
kau tidak menyuruhku untuk membayarnya. Kau tahu? Aku tidak membawa banyak uang
hari ini.” Balasku sedikit khawatir.
“Tentu saja
tidak, aku yang traktir.” Balas Tommy riang.
***JANGAN
LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN
KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI
PEMBACA SEKALIAN
Dream in Tokyo ` Part 9
“Rifka,
darimana saja kau?” Tommy menyambutku dari mulut pintu kelas. Tak lama pandangannya
dialihkan pada Kaneki yang berada tepat dibelakangku. Kaneki menghentikan
langkahnya saat aku dihadang Tommy.
“Kau ini
benar-benar memuakan!” Tommy berbicara lantang pada Kaneki.
“Kau
seharusnya berkaca pada dirimu sendiri.” Balas Kaneki singkat dan kemudian
menabrak badan Tommy dengan cukup kencang. Tanpa terasa kakiku tiba-tiba
bergeser dengan sendirinya. Tunggu, Kaneki menarik tangan kiriku dan membawaku
masuk kedalam kelas. Apa maksudnya ini Kaneki?
Aku berhasil
berpindah sejauh 5 langkah, namun kakiku mendadak berhenti. Sepertinya ada
sensasi panas pada pergelangan tangan kananku. Benar, Tommy menarik tangan
kananku kembali dengan spontan langkah kaki Kanekipun terhenti.
Sebenarnya ada
apa ini?
Kaneki
membalikan badannya dan begitu tepat menghadapku sebuah pukulan mendarat tepat
dihidungnya. Oh tidak, Kaneki mengeluarkan banyak darah dari hidungnya. Seisi
kelas tampak terpaku melihat adegan yang terjadi didepan kelas. Semua tampak
khawatir namun tak ada yang bergerak.
Begitu
tersadar apa yang terjadi, tanpa pikir
panjang aku menampar wajah Tommy dengan tangan kiriku dan menarik paksa tangan
kananku yang masih digenggam olehnya. Tamparanku mungkin tidak kencang, namun
amarahku cukup tinggi.
Tanpa pikir
panjang aku membawa Kaneki ke UKS. Entah bagaimana raut muka Tommy saat itu,
yang jelas aku merasa harus bertanggung jawab pada Kaneki.
“Kau ini bodoh
ya? Kenapa kau tidak melawannya?” Entah mengapa kekesalanku juga meluap pada
Kaneki. Sesekali aku merasa khawatir melihat darah yang meluncur jatuh dari
hidungnya.
“Hei, kenapa
kau diam saja.” Nada suaraku kali ini sudah semakin tinggi. Tanpa terasa
butiran hangat meluncur dari kelopak mataku. Benar, aku menangis. Entah apa
yang membuatku menangis tapi ini semua telah membuatku sesak.
“Rifka, kau
tidak apa-apa?” Kaneki menghentikan langkahnya begitu tahu aku menangis.“Oe,
kenapa kau menangis? Aku tidak apa-apa, ini hanya luka ringan.” Mendengar
pernyataannya yang seperti itu semakin membuatku ingin menangis. Bagaimana
tidak, hari ini saja dia sudah menyelamatkanku 2x tapi yang kuberikan hanyalah
sebuah luka.
“I..ini semua
salahku.” Tanpa disadari suara tangiskupun pecah dengan cukup keras. Untunglah
saat itu lorong menuju UKS sepi, dan akhirnya aku bisa menangis dengan tenang.
Isak tangisku sepertinya cukup membuat Kaneki khawatir.
“Rifka,
dengar! Aku tidak apa-apa, lihat? Aku baik-baik saja.” Namun aku masih belum
bisa menghentikan tangisku. Tiba-tiba ia menarik badanku dan memelukku cukup
erat. Perasaan tak enak yang menguasai hati dan fikiranku perlahan berubah
menjadi tenang. Sekali lagi ia berbicara “Aku tidak apa-apa.”
Setelah
tangisku mereda ia mulai melonggarkan pelukannya. “Dasar anak manja, ternyata
kau cengeng juga.” Sebuah pukulan halus dikepala Kaneki luncurkan padaku. Entah
apa maksudnya namun aku berhasil tenang. Belum juga sampai di UKS, ia
memutuskan kembali ke kelas tanpa berkata-kata dan akhirnya aku mengalah
mengikutinya.
“Sepertinya ia
masih menyayangimu.” Tiba-tiba suara Kaneki terdengar lagi.
“Maksudmu?”
“Ia tidak akan
melakukan hal seperti itu jika ia sudah benar-benar melupakanmu.”
“Tapi..”
“Bicarakanlah
dengannya baik-baik, aku yakin dia memiliki alasan khusus mengenai
kepindahannya kemari.”
Akhirnya kami
tiba diruang kelas. Furukawa sensei tengah berdiri untuk memberi kami pelajaran
sejarah Jepang. Sepertinya Kaneki berusaha meminta maaf atas keterlambatan kami
dalam jam mengajarnya. Dan akhirnya kami dipersilahkan duduk. Semua orang sudah
berada di tempat duduknya kecuali Tommy.
Hingga bel pulang
berbunyi batang hidungnya tidak nampak sama sekali. Entah dimana anak itu
berada. Perasaan waswas sedikit menyelimuti pikiranku. Entah apa yang
sebenarnya terjadi disini, dengan perasaan campur aduk akhirnya aku
meninggalkan gedung sekolah.
Seperti biasa
Kaneki pulang bersama Aoi, dan aku? Aku seperti anak ayam yang tersesat tanpa
tujuan. Akhirnya aku berjalan mengikuti langkah kakiku.
Saat hampir
tiba di gerbang utama sekolah, aku melihat seorang pria yang tak asing disana.
Aku tahu itu Tommy. Dengan berat hati aku mengikuti apa yang Kaneki katakan
padaku. ‘Bicarakanlah dengannya baik-baik, aku yakin dia memiliki alasan khusus
mengenai kepindahannya kemari.’
“Tommy,
maafkan aku. Aku benar-benar tidak berniat menamparmu tadi.”
“Tidak, aku
yang salah. Jadi maafkanlah aku.” Tommy tampak sangat menyesal telah melakukan
hal yang kurasa tidak perlu. “Aku tak bisa mengendalikan amarahku. Aku tahu aku
salah. Kamu sangat berbeda dengan Vreya dan aku benar-benar tidak mau
kehilanganmu. Dan satu hal lagi. Tadi aku tidak memanggilmu dengan Vreya,
mungkin pendengaranmu yang sengaja menyampaikan pada otakmu bahwa aku
memanggilmu Vreya. Aku sangat yakin aku memanggilmu Rifka.”
Sial,
sebenarnya ada apa ini?
“Kau memaafkan
aku bukan?” kata-katanya membuatku semakin bingung,
“Tidak perlu
waktu yang cepat untuk mengembalikan keadaan ini seperti semula, aku tahu semua
butuh proses. Namun jika kau tak mau memaafkanku, aku akan lebih berusaha agar
dapat membuatmu memaafkanku.”
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
Dream in Tokyo ` Part 8
“Kau ingin makan
apa?” tanya Tommy setelah kami tiba dikantin sekolah.
“Aku sedang
diet.” Jawabku seadanya.
“Bukankah kau
sudah kurus? Untuk apa diet?” Ucapnya sambil sedikit meledekku. Itu benar-benar
gurauan yang benar-benar ‘tidak lucu’. Seharusnya dia bisa melihat badanku yang
lebih gemuk dengan mata terpejam. Benar-benar pria tak tahu diri, nafsu makanku
bertambah ketika aku patah hati olehmu, jika saja dia hanya sebuah boneka mungkin
sudah ku congkel matanya, patahkan tulang lehernya dan jambak rambutnya hingga
botak, sayangnya dia manusia.
Aku hanya
mendengus kencang mendengar gurauan garingnya. Sepertinya ia mulai menyadari
sikapku yang tak bersahabat.
“Baiklah,
bagaimana kalau coklat panas?”
Tiba-tiba
pikiranku melayang pada kejadian tadi pagi, entah kenapa rasanya nyaman saat
bersama Kaneki. Dan tanpa disadari aku tersenyum mengingat kejadian pagi tadi.
“Vreya kau
tidak apa-apa?”
Pertanyaan itu
seketika membuatku sadar akan beberapa hal : 1. Yang bersamaku kali ini bukan
Kaneki dan 2. Dia memanggilku Vreya.
“Maaf Tommy,
aku bukan Vreya.” Tiba-tiba saja aku berlari meninggalkan kantin, entah kemana
tujuanku kali ini yang jelas aku benar-benar sudah tidak tahan menghadapi
Tommy, meskipun perasaanku padanya sudah mulai memudar, namun entah kenapa rasa
sakit itu kembali datang. Rasa sakit yang tidak bisa aku tahan.
Akhirnya aku
tiba disalah satu lorong yang menuju loteng sekolah. Sepertinya ini kali
pertamaku datang ke salah satu bagian dari bangunan sekolah yang belum
kujelajahi sebelumnya dan disini benar-benar sepi. Sepertinya cocok untuk
sedikit melepaskan penat hari ini.
Di depan sana
sepertinya ada sebuah tangga yang menuju loteng sekolah paling atas, mungkin
harus kucoba menaikinya. Dengan dipenuhi rasa kesal akhirnya kunaiki satu
persatu anak tangga besi yang menempel pada dinding sekolah. Pijakan kakiku
sepertinya cukup keras hingga salah satu anak tangga tadi patah, aku hampir
jatuh dari ketinggian 2meter hanya saja selang beberapa detik sebuah tangan
menjulur dan mencengkram lenganku.
“Tidaaaak..
Ha.. haa.. hantuuuu. Tolong jangan pegangi aku. Tolong biarkan aku terjatuh
dibanding dimakan olehmu. To..to..tolooong.” Aku berbicara seolah hantu Jepang
dapat mengerti apa yang aku maksud. Mataku tak dapat kubuka sekarang, entah itu
jatuh ataupun melihat hantu, keduanya aku sama sekali tidak siap.
“Oe, bagaimana
mungkin ada hantu disiang bolong begini. Ya meskipun matahari tidak terlihat
setidaknya hantu tidak akan muncul disiang hari.” Suara ini, aku tahu suara
ini. Dengan ragu sedikit demi sedikit aku membuka mataku dan ternyata benar.
Kaneki menyelamatkanku ‘lagi’. Ia tampak kesulitan menggenggam tanganku yang hampir
terjatuh, dengan berat badan sekitar 55kg aku rasa dia cukup kuat.
“Injakan
kakimu disana, naiklah secara perlahan.” Suara itu terdengar lagi,
perlahan-lahan aku injakan kembali kakiku pada anak tangga yang lain, dengan
perlahan aku naiki dan akhirnya sampai dipuncak gedung sekolah.
“Maaf, aku
sudah menyusahkanmu lagi.“ Aku benar-benar menyesal dan lebih menekankan kata ‘lagi’
diakhir permohonan maafku.
“Tidak
apa-apa. Sebenarnya apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau bisa menemukan
tempat ini? Dan kenapa kau tidak bersama Tommy?” pertanyaan terakhirnya sedikit
berbeda.
“Aku hanya
berlari dan akhirnya aku sampai disini. Tommy? Entahlah, tak banyak yang ingin
aku bicarakan tentangnya.” Jawabku dengan sedikit rasa kesal ketika ingat akan
Tommy. “Lalu apa yang kau lakukan disini? Bagaimana dengan Aoi?”
“Setiap aku
bosan, tempat ini selalu jadi tempat persembunyianku. Mirip dengan Otou-san dan
Oka-san ketika dulu. Aoi? Aku mengelabuinya tadi, sepertinya ia masih
menungguku didepan WC.”
“Apa? Apa kau
serius membiarkannya menunggumu disana? Bagaimana kau keluar?”
“Lewat jendela
belakang.” Kemudian pandangannya kosong dan kembali menerawang jauh ke langit
kelabu.
“Emm, otou-san
dan oka-san yang kamu maksud sepertinya memiliki kisah cinta yang luar biasa
ya. Aku sendiri dapat menggambarkan betapa indahnya keluargamu itu. Berbeda
jauh dengan keluargaku.”
“Kau hanya
belum mengetahuinya. Jika aku ceritakan kau pasti takkan percaya. Memangnya
bagaimana dengan keluargamu?” Pandangan Kaneki tidak lagi kosong dan sepertinya
ia tertarik dengan kisah keluargaku. Akhirnya aku menceritakan semua mengenai
keluargaku dan terkadang ia sepertinya benar-benar mengerti bagaimana hidup
diposisiku yang sekarang. Sepertinya Kaneki memiliki kepribadian yang sulit
ditebak, kadang pendiam, kadang bisa sangat menyebalkan, kadang perhatian, dan
kadang bisa membuatku tidak mengenal siapa dia.
“Ah tidak. Bel
masuk berbunyi, tak kurasa menghabiskan waktu denganmu dapat menjadi begitu
singkat. Jadi kapan-kapan ceritakan mengenai kisah keluargamu padaku ya.”
“Baiklah.
Tapi, 2coklat panas lagi.” Oh tidak, jangan senyum ini yang kau tunjukan padaku.
Benar-benar membuatku seperti mau mati membeku.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
Dream in Tokyo ` Part 7
“Kenapa kau
menggerai rambutmu?” Tanya Kaneki yang terlihat penasaran
“Ini, oh ini.
Aku hanya ingin sesekali lebih rapi saat datang kesekolah.” Sepertinya jawaban
atas pertanyaannya kali ini tidak cukup baik.
“Tapi kau
terlihat cantik bila menggerai rambutmu.” Pernyataan tadi seketika semakin
membuat kerja jantungku lebih cepat. Oh tidak, aku membutuhkan ekstra oksigen
disini. Beberapa menit akhirnya berlalu dan aku sangat bersyukur mampu
mengendalikannya.
Setelah cukup lama,
akhirnya obrolan kami berakhir karena ulah Aoi.
“Oh tidak, Aoi
sudah datang.” Kaneki menyela obrolan kami. Matanya menyipit kearah kanan, tiba-tiba
Kaneki meneguk langsung coklatnya yang sudah semakin dingin dengan satu kali
tegukan hingga habis. Kemudian ia berdiri dari bangku itu dan akhirnya berkata.
“Terimakasih untuk coklat panasnya.” Kaneki beranjak dari tempatnya menuju
pintu kantin yang berlawanan dengan Aoi.
Setelah
beberapa detik masuk kedalam kantin, Aoi kemudian berlari keluar mengikuti
Kaneki. Benar-benar seperti anak ayam yang mengejar induknya. “Hmm.. padahal
aku masih ingin mendengarkan banyak cerita darinya.” Tiba-tiba kata-kata itu
terlontar dari mulutku begitu saja. Begitu sadar, aku memutar kepala kekanan
dan kekiri dan untunglah tak ada siapapun disana. Aku tersenyum malu sambil
mengusap dadaku.
15menit lagi
bel berbunyi, sebaiknya aku bergegas menuju kelas. Ketika keluar dari kantin
dan melangkah beberapa meter, seseorang memanggil namaku cukup jelas. Aku
berbalik menuju arah suara itu berasal. Seorang pria tengah mematung dengan
syal tebal menutup muka dari hidung hingga lehernya.
Pria ini, aku
benar-benar mengenalnya. Meskipun wajahnya tertutup tapi aku tahu siapa dia.
“Tommy? Sedang
apa kau disini?” Aku berjalan mendekat
kearahnya untuk lebih memastikan. Sedikit aneh melihat Tommy berdiri di koridor
dengan menggunakan seragam sekolah kami.
“Rifka,
bagaimana kabarmu? Ohayou gozaimasu.” Sialan, itu benar-benar Tommy gaya bahasa
serta caranya menyapaku, ini benar-benar Tommy, bagaimana bisa? Kenapa dia
disini? Dan BAGAIMANA VREYA?
Tommy
menurunkan syal yang menutupi wajahnya, begitu syalnya terbuka senyum
mengambang yang membuat jantungku berdegup kencang DULU. Deretan gigi putih
bersinar tertata rapi menjadi pemanis senyumnya, tapi kurasa aku sudah tidak
merasakan hal yang sama seperti dulu.
“Ayo kita ke
kelas, 11-3 bukan? Aku juga masuk kelas itu.” Tangannya sekarang merangkul
pundakku. Dia seolah memberi aba-aba untukku berjalan disampingnya, tapi entah
mengapa kakiku malah terdiam dan dalam beberapa saat lengannya mengapung
diudara.
“Rifka? Kau
tidak apa-apa? Apa kau demam?” Kini belakang telapak tangannya menyentuh keningku.
“Kau tidak demam. Mungkin kau kedinginan.” Dia segera melepaskan syal yang
menggulung lehernya dan ketika hendak memberikannya padaku, aku melangkah
mundur menjauh darinya.
“Rifka?
Kenapa?” Mukanya menunjukan rasa tak percaya yang sangat tinggi. Sampai detik
ini belum ada kata yang terlontar dari mulutku. Begitu banyak pertanyaan
diujung lidahku, namun entah mengapa, tak ada satu katapun yang keluar.
“Rifka, what
are you doing?” Suara gadis itu mengaburkan seluruh pertanyaan yang membelenggu
lidahku. Begitu aku menoleh kebelakang ternyata itu Kyoko.
Kyoko tampak
terpaku melihat seorang pria yang tengah berdiri dihadapannya, meskipun mukanya
tampak kebingungan, mungkin dimata Kyoko ia tampak sempurna. Kyoko tak henti
memandanginya dan berkata “Kawaii.” Ternyata virus ketampanannya sudah mewabah
disekolah ini juga.
“Rifka, dia
temanmu?” Tommy mencoba pembicaraan lain. Mata Kyoko dengan cepat mengarah
kepadaku. “Rifka?” matanya seolah bertanya ‘kau mengenal pria ini?’ tapi dengan
sigap aku menggandeng tangan Kyoko untuk bergegas menuju kelas dan menyeretnya
secara paksa. Kyoko seolah tak percaya, dia terus menerus memandangi pria yang
tertinggal dibelakang.
Ketika sampai
dikelas, Kyoko dengan semangat bercerita pada Sayaka soal pria yang ditemui
oleh kami pagi ini. Dia bercerita sangat antusias seperti saat ia menceritakan
Kaneki. Kaneki yang sedari tadi mencuri dengar sesekali menyipitkan
pandangannya padaku yang masih berada ditengah Kyoko dan Sayaka. Entah apa
maksudnya tapi sepertinya ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.
Bel tanda
masuk sudah berbunyi. Kami sudah duduk diposisi masing-masing. Tak lama pria
yang duduk tepat dibelakangku perlahan-lahan menggeser kursi yang kududuki dengan
kakinya kemudian bertanya. “Oe? Benarkah itu? Apakah dia setampan itu?
Bagaimana bila dibandingkan dengan ku? Namanya Tommy? Mirip sekali dengan orang
yang kau ceritakan pagi tadi.” Kaneki tampak terkekeh dengan semua
pertanyaannya yang kurasa juga sedikit konyol untuk ditanyakan.
Belum sempat
aku menjawab, Sensei datang diikuti siswa baru itu. Kaki yang sengaja
menggeser-geser kursiku perlahan mereda, diikuti dengan suara anak perempuan
yang histeris dan tampak bersemangat melihat pria dengan wajah asing memasuki
kelas mereka.
“Jangan
bilang, ini Tommy yang kau ceritakan.” Suara bisikan itu terdengar begitu jelas
kali ini. Bagaimana tidak kepala Kaneki benar-benar condong kedepan. Tiba-tiba
Tommy menatap Kaneki dengan sinis dan seluruh wanita dikelas kami mengikuti
arah bola mata Tommy, dan kini pandangan mereka tertuju padaku dan Kaneki.
“Ya, dia Tommy
teman kecilku yang tadi pagi aku ceritakan.” Dengan tatapan kosong Kaneki
perlahan duduk kembali ditempat kursinya. Seluruh pandangan anak perempuan
dikelas sudah kembali pada Tommy, namun sesekali Tommy melirik kearah Kaneki
dengan perasaan sinis.
‘Sebenarnya
untuk apa dia datang kemari, bukankah sudah cukup membuatku tersiksa disana?’
pertanyaan itu tak henti hentinya aku tanyakan pada diriku hari ini sampai tak
terasa waktu berlalu begitu saja. Bel istirahat berbunyi, selang beberapa saat
seseorang sudah berdiri dipinggir mejaku.
“Rifka,
kutraktir kau makan.” Seluruh pandangan anak perempuan dikelas kami tampak
kecewa. Beberapa anak perempuan terlihat saling mengomentariku dan Tommy,
termasuk Sayaka dan Kyoko. Selang beberapa saat Aoi muncul dengan sangat riang.
“Kaneki-kuuuuuuuun,
iku!” Dengan nada yang sangat manja Aoi menarik lengan Kaneki, tapi langkahnya
beberapa saat terhenti ketika melihat Tommy berdiri dihadapannya. “Anata no
kawaii desu.” Nada manjanya kali ini ditujukan pada Tommy, dan beberapa saat
setelah melihatku. “Demo, omae?” Tangannya kembali mengacung kearah mukaku dan
berusaha menyatukan kembali alisnya.
Dengan sigap
Tommy menurunkan jari telunjuk Aoi dan berkata padanya dengan nada yang sangat
sopan. Aoi akhirnya tersenyum dan kembali menarik Kaneki untuk pergi menikmati
waktu istirahat bersamanya. Kaneki berjalan menjauh bersama Aoi, rasanya
sedikit kesal melihatnya, tapi tunggu, kenapa aku merasa kesal? Mungkin karena
dia menyelamatkan hidupku pagi ini dan aku ingin dia sekali lagi
menyelamatkanku dari Tommy.
Tapi Kaneki
semakin menjauh, dan akhirnya setelah berusaha cukup keras menolak ajakannya
Tommy akhirnya aku menyerah dan memutuskan menikmati waktu istirahat bersama
Tommy.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
Dream in Tokyo ` Part 6
“Lalu, kenapa
kau pergi pagi sekali? Bukankah ini terlalu pagi untukmu?” Aku memulai
pembicaraan pertama diatas sepeda motor miliknya.
“Aku memang
sudah terbiasa pergi di pagi buta. Hanya ini waktu tenangku tanpa Aoi.” Balasnya
sedikit dingin entah memang cuacanya sedang sangat dingin.
“Kalian sangat
dekat, mengingatkanku pada Tomy dulu.” Tiba-tiba aku mengatakan hal yang tak
seharusnya aku katakan.
“Tommy? Siapa
Tommy?” Tanya Kaneki sambil memalingkan wajahnya dari jalanan dan coba menoleh
ke arahku. Karena terhalang oleh helm miliknya, akhirnya ia amenyerah dan
kembali memfokuskan pada jalanan didepan kami.
“Dia teman
dekatku sejak kecil. Kemanapun ia pergi aku selalu bersamanya, hanya saja itu
tidak bertahan lama. Belakangan ketika ia mulai dekat dengan sahabatku Vreya,
ia memutuskan tak pernah mengajakku. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama
Vreya. Menyedihkan bukan?” Tanyaku yang sedikit menggigil.
“Tidak juga.”
Balasnya semakin dingin. Setelah beberapa saat akhirnya Kaneki buka mulut. “Kalian
hanya berteman bukan? Wajar saja jika dia menyukai wanita lain. Bagitu itu
bukan masalah besar.” Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Kaneki barusan.
Saat aku tengah melamun, Kaneki kembali membuka mulutnya.
“Kau
kedinginan bukan? Masukan tanganmu kedalam saku jaketku. Kau ini benar-benar
bodoh ditengah salju begini keluar tanpa sarung tangan.”
“Tapi..” Aku
coba mencari alasan agar hal itu tidak sampai terjadi. Membayangkannya saja
sudah membuat aku mati rasa.
“Asalkan kau
harus traktir aku secangkir coklat panas.” Lanjut Kaneki, entah bagaimana
rasanya, hanya saja ia selalu mampu mencairkan suasana. Akhirnya aku mengalah
dan memasukan tanganku kedalam saku jaketnya.
“Lalu,
bagaimana ceritamu dengan Aoi?” Aku kembali melontarkan pertanyaan yang kurasa
tidak penting baginya. Tapi kurasa akan sangat penting untukku. “Jadi, bisakah
kau menceritakannya padaku?”
“Emm, Tentu.”
Kaneki sepertinya sedikit tersenyum seakan menggambarkan kebahagiaannya dulu.
“Awalnya aku menyukai fotografi, mungkin karena setiap orang yang melihat hasil
potretanku selalu memuji hasilnya. Mungkin itu bakat alami yang diberikan
Otou-san padaku.”
“Lalu, apa
hubungannya dengan Aoi?” Aku sedikit kebingungan atas intro dari alur
ceritanya.
“Saat masih
kecil aku bertemu degan Aoi, dia tengah menangisi kucingnya yang tak bisa turun
dari atas pohon. Aku coba membantunya dengan naik hingga ke puncak pohon
tersebut. Namun ketika sampai dipuncak pohon, dahan yang kunaiki tiba-tiba
patah dan membuatku terjatuh cukup tinggi. Namun sesaat sebelum terjatuh aku
berhasil menyelamatkan kucing Aoi dan memeluknya. Aku menahan tubuhku dan si
kucing dengan tangan kananku dan alhasil tanganku benar-benar patah. Aku cepat dilarikan ke Rumah Sakit
untuk melihat seberapa parah kerusakan yang diakibatkannya. Pada akhirnya tanganku
harus dibebat selama sebulan. Sebulan berlalu, aku sangat berantusias memegang
kembali kamera yang sudah kubiarkan sebulan lamanya. Namun sejak saat itu,
tanganku tak pernah berhenti bergetar ketika memegang kamera. Meskipun
dinyatakan sembuh namun tanganku tetap sulit dikendalikan.”
“Lalu, bagaimana
dengan Aoi?” Tanyaku semakin penasaran akan ceritanya.
“Tentu saja
dia merasa bersalah. Dan sejak saat itu dia tak pernah membiarkanku lepas dari
pandangannya. Aku sudah bilang berulang kali padanya, namun dia tetap merasa
bersalah. Kadang aku berpikir, apakah harus aku membuat tangannya patah agar
kami impas? Namun itu benar-benar konyol Iya kan?”
Sepertinya ia
mulai mengeluarkan jurus humornya.
“Bisa saja kau
lakukan jika ingin benar-benar lepas darinya.” Jawab ku yang tak ingin kalah
bergurau dengannya.
“Baiklah, akan
ku lakukan.” Jawabnya datar seolah dia benar-benar akan melakukannya.
“Kau bercerita
cukup panjang lebar, aku tak menyangka pria yang disebut-sebut dingin seperti
es dapat berbicara banyak padaku.” Aku mencoba memberikan tawa diujung
argumenku.
“Siapa bilang
aku sedingin es?” Tanyanya kembali serius.
“Teman-temanku.
Tak banyak wanita yang kau ajak bicara, tapi ini sudah terlalu banyak kau
bicara. Dan sepertinya anggapan mereka memang salah. Bahkan kau menyelamatkanku
tadi.”
“Kebanyakan
orang memang menilai seseorang dari luarnya saja.” Jelas Kaneki.
“Ada 1
pertanyaan lagi. Kau masih mau menjawabnya?” Ini memang pertanyaan yang sangat
membuatku penasaran.
“2 coklat
panas.” Nada bicaranya seakan ia sedang tersenyum.
“Baiklah. Emm
matamu tidak seperti orang Jepang kebanyakan, meskipun namamu terdengar
sangat-sangat Jepang sekali. Bahasa Indonesiamu juga cukup lancar meskipun
Bahasa Jepangmu jauh lebih lancar. Sebenarnya bagaimana kau menjelaskan
semuanya?” Aku rasa Pertanyaan yang dilontarkan cukup banyak, tapi aku
benar-benar penasaran dibuatnya.
“Ayahku orang
Indonesia. Oka-san orang Jepang. Ayah sudah lama tinggal di Jepang sebagai
kepala Rumah Sakit. Aku lebih banyak mengenal budaya Jepang tapi aku selalu
diajari bagaiman berbahasa Indonesia yang baik, karena Oka-sam juga sudah lama
tinggal di Indonesia.”
“Oh begitu ya.”
Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiranku. Dia memanggil Ayahnya dengan kata ‘Ayah’
sedangkan memanggil Ibunya dengan sebutan ‘Ibu’ tapi tadi kalau tidak salah ia
menyebut bakat photography-nya berasal dari ‘Otou-san’ jadi mungkinkah yang
dikatakan teman-teman itu benar adanya?
“Kau sangat
penasaran dengan hidupku. Hahaha” Dia tertawa cukup kencang membuatku tiba-tiba
tersadar bahwa muka ku kini memerah. Sial kenapa juga aku harus bertanya hal
pribadi? Ah damn
Kami akhirnya
tiba di sekolah. Suasananya masih cukup sepi namun beberapa kantin sudah
dibuka. “Ayo! Coklat panas menungguku.” Kaneki berjalan tanpa diberi aba-aba.
Ia segera bergegas menuju kantin yang menjual coklat panas. Belum juga aku
sampai dia sudah memesan 2coklat panas. Bocah sialan, aku kira dia hanya
bercanda ingin mendapat 2 coklat panas. Ternyata dia benar-benar serius.
Ibu kantin
tadi telah menyajikan 2 coklat panas diatas nampan. Dengan sigap Kaneki mengambilnya
dan menyuruhku untuk membayarkan pesanannya. Benar-benar pria menyebalkan. Tapi
apa boleh buat, sepertinya itu setara dengan misi penyelamatannya tadi pagi.
Dia duduk
disebuah meja tak jauh dari lokasi dimana aku berdiri. Tiba-tiba tangannya
melambai seakan memberikan kode bahwa aku harus menemaninya disana. Aku duduk
tepat disebrangnya, ia tampak menikmati coklat panas yang baru saja dituang
kedalam cangkirnya. Oh tidak, melihatnya menikmati coklat panas membuatku ingin
membelinya juga.
Tak ada
percakapan disana, aku berencana untuk membeli coklat panas yang sama. Dan
ketika aku beranjak dari tempat dudukku, Kaneki menggenggam lenganku dan
menyodorkan coklat panas yang belum ia minum.
“Ini untukmu.”
Setelah memberikannya padaku, ia melepaskan lenganku dan kembali meneguk coklat
panas miliknya.
“Kau
seharusnya menjawab ‘arigatou’ .“ Dia mulai mengguruiku, tak lama ia kembali
menyesapnya. Sedikit menggelikan melihat tingkah lakunya yang dirasa sedikit kekanak-kanakan,
meskipun aksi heroiknya memperlihatkan ia seperti lelaki dewasa. Namun sikapnya
kali ini membuatku tertawa geli.
“Arigatou.”
Aku coba mengucapkannya dengan sedikit geli dan akhirnya ia tertawa. Tawa yang membuatku
kembali terdiam mematung dan membuat jantungku terpompa lebih cepat.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
Dream in Tokyo ` Part 5
Pagi ini aku
benar-benar semangat untuk pergi ke sekolah, entah mengapa tapi sepertinya
perasaan itu tiba-tiba muncul, setelah tiba di Jepang entah mengapa aku
berhasil membuang jauh-jauh sifat sinisku dan juga perilaku buruk yang
belakangan menguasaiku. Rasanya aku menemukan kembali ‘aku’ yang dulu.
Aku coba
menggeraikan rambutku yang biasanya aku kucir asal-asalan. Membiarkannya
terbebas seperti perasaanku saat ini. Aku berusaha tampil lebih rapi dari
biasanya. Sedikit parfum aku tambahkan untuk membuatnya lebih bergairah. Aku
mematung didepan cermin kemudian sedikit tersenyum. Beberapa detik kemudian aku
memukul-mukul kepalaku berusaha mengendalikan apa yang tengah merasukiku. Namun
ternyata perasaan itu benar-benar menguasaiku dan aku tidak mampu
menghadangnya.
“Yosh!
(Yosh;Baiklah) hari ini aku siap.” Beberapa detik kemudian aku tiba di meja
makan dan memakan beberapa roti yang ada. Papa masih belum pulang dan aku
terpaksa pergi sendiri. “Papa tega sekali membiarkan anak gadisnya sendirian di
rumah.” Aku menggerutu pada diriku sendiri. Setelah dirasa kenyang aku bergegas
menuju halte bus dan mencari bus mana yang menuju sekolahku.
Aku tiba
dengan perasaan riang, namun aku baru menyadari bahwa hari ini benar-benar sepi.
Untuk beberapa saat aku terdiam di halte dengan perasaan was-was. Dan ketika
kulihat jam yang melingkar dipergelangan tanganku ternyata waktu menunjukan
pukul 05.30, sial. Ini terlalu pagi untuk perjalanan ke sekolah. Aku coba
menghubungi Sayaka dan ternyata ia baru bangun. Bagaimana ini? Lelah sekali
rasanya jika harus kembali ke rumah.
Akhirnya aku
memutuskan untuk menunggu hingga bus datang. Untuk beberapa saat seisi kota
terlihat aman, namun beberapa pria dengan bekas luka datang bersamaan. Jantungku
semakin berdegup kencang, hingga rasanya lututku benar-benar tak bisa menopang
badanku. Oh tidak, mereka datang ke arahku.
Aku
mengeluarkan handphone dan berusaha menghubungi Papa, namun panggilan terus
saja dialihkan. Pria-pria tadi semakin mendekat saja dan sedikit senyuman
mereka torehkan padaku. Sialan, itu bukan senyuman yang bersahabat. Itu..
senyuman..
“Kawaii ne,
anata wa gakusei desuka?” Salah seorang dari 3 pria itu bertanya padaku namun
aku tak tahu apa artinya. “I’m sorry, i don’t understand.” Aku coba membalas
mereka sebisaku. “Hohoho Amerikajin.” Salah seorang lagi tiba-tiba seperti
mencoba menebak darimana aku berasal. Dengan detak jantung yang semakin
berdebar kencang akhirnya orang yang memulai pembicaraan mencengkram tanganku
sambil tersenyum. Oh tidak, ini benar-benar mimpi buruk, aku menutup kedua
mataku dan berharap ini semua hanya mimpi. Tapi aku tahu ini semua nyata terasa
jelas dari tanganku yang terasa sakit setelah beberapa saat.
Dari kejauhan
terdengar suara sepeda motor dan berhenti tepat dimana kami berada. Oh tidak, jangan
sampai komplotan pria ini lagi. Aku masih menutup kedua mataku karena rasa
takut yang semakin menguasaiku. Namun seseorang yang baru turun dari sepeda
motor seperti berusaha bernegosiasi. Suaranya, tunggu. Aku tahu suara ini, dan
ketika aku coba membuka sebelah mataku ternyata benar itu Kaneki. Mereka
seperti tengah beradu mulut. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka
bicarakan. Tapi setelah beberapa saat akhirnya pria asing tadi melepaskan
lenganku dan kembali berjalan bersama teman-temannya.
“Jadi, apa
yang kau lakukan ditengah pagi buta begini?” Kaneki coba memulai pembicaraan.
“Aku kira, ini
sudah pukul 06.30 karena cahaya mataharinya terlihat sama dengan kemarin. Jadi
aku bergegas pergi tanpa melihat jam terlebih dahulu.” Ucapku yang masih
sedikit ketakutan. “Kaneki, sebenarnya siapa mereka? Tanganku terasa sakit
sekali.” Dengan penuh rasa penasarah aku bertanya pada Kaneki yang sedari tadi
memperhatikan lenganku.
“Yakuza.” Matanya
beralih menatap mataku.
“Apa itu Yakuza?”
Dengan sedikit canggung aku kembali bertanya padanya.
“Sebuah gank
besar yang ada di Jepang, mereka tersebar dimana-mana. Mereka sangat ditakuti.
Jadi kau jangan coba-coba berurusan dengan mereka.” Ucap Kaneki sambil menunjuk
batang hidungku.
“Lalu
bagaimana kau menghadapinya?”
“Ra-ha-si-a.
Ayo kita pergi bersama. Atau kau masih mau menunggu bus dan berharap Yakuza itu
datang lagi?”
“Bagaimana
dengan Aoi?”
Dia sepertinya
tidak ingin menjawab dan berencana meninggalkanku yang masih diselimuti rasa
penasaran, ketika dia menginjakan gigi di motornya aku baru tahu bahwa dia
serius. Dengan masih tersisanya rasa takut didalam hatiku akhirnya aku bersedia
pergi bersama Kaneki meskipun aku tahu, pergi bersamanya hanya akan membuat
jantungku berdegup kencang lagi.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
Dream in Tokyo ` Part 4
Dalam
sepersekian detik, aku jatuh ke lantai. Meskipun begitu bola basket sama sekali
tidak mengenaiku. Cengkraman itu perlahan meregang. Namun rasa dingin bercampur
panasnya masih terasa. Dingin karena telapak tangannya benar-benar terasa
seperti es dan panas karena cengkramannya sangat erat.
Begitu aku
membuka mata, Kaneki menatapku dengan tatapan kesal. Mata kami saling bertemu,
untuk sesaat aku hanya melihat matanya. Mata yang memang dimiliki orang
Indonesia kebanyakan.
“Apa kau buta?
Atau kau sengaja melakukannya?” Nada suaranya terdengar begitu kencang sampai
seisi gedung sekolah hening selama beberapa saat.
“Maafkan aku.”
Aku melepaskan tangannya yang masih memegangi lenganku. “Terima kasih karena
telah menolongku.” Kyoko membantuku berdiri sambil sesekali membetulkan posisi
kacamatanya yang terlihat sudah longgar.
“Kau tidak
apa-apa?” Sayaka berlari kearahku dan juga menopangku yang sedikit terkejut.
“Teman-teman,
maafkan aku. Aku memang tidak pandai dalam berolah raga, oleh karena itu aku
akan meminta ijin pada Matsuda-sensei agar memberiku keringanan.” Aku seolah
menjelaskan situasinya pada Sayaka dan Kyoko, mereka tampak lebih mengerti, dan
menemaniku menemui Matsuda-sensei.
Dilihat dari
ujung mataku, sepertinya Kaneki merasa bersalah telah membentakku, bagaimana
tidak, meskipun sebenarnya aku berniat menjelaskan masalahku pada Sayaka dan
Kyoko namun sepertinya Kaneki berhasil mencuri dengar, dan setelah itu ia
terlihat tampak lebih terpukul.
Pelajaran olah
raga selesai, kami menuju kantin untuk membeli air mineral meskipun aku tidak
tahu kenapa aku ikut-ikutan membelinya padahal aku hanya duduk-duduk dipinggir
lapangan, meskipun sesekali aku diajari Sayaka bermain namun hasilnya
lemparanku malah mengenai anak kelas sebelah dan membuatnya meringis kesakitan.
Ketika hendak
membeli air mineral, jalanku dipotong oleh seorang pria yang sudah tidak asing
lagi bagiku. Untungnya kali ini ia tidak menabrakku dan membuatku terjatuh
seperti di bandara. Ia memberikan air minum yang baru saja ia beli tepat ke
arahku.
“Maafkan aku,
telah membentakmu. Ambillah ini sebagai tanda permintaan maafku.” Kaneki seolah
berharap lebih untuk itu. Minuman gratis apa salahnya ku ambil.
“Oke,
baiklah.” Aku mengambilnya kemudian meneguknya. “Dan satu hal lagi, dia
Papaku.” Kaneki membuat kontak pandangan yang tegak lurus kemudian tertawa
terbahak-bahak. Deretan gigi putih yang berderet rapi terlihat sangat jelas
disana.
“Benarkah
itu?” ia menghentikan tawanya kemudian merubahnya menjadi tawaan kecil yang
terdengar sedikit renyah.
“Emm.”
“Kalau begitu
sampaikan maafku padanya.” Kali ini ia terdengar lebih serius.
“Ok.”
Aku berlalu
dan menghampiri Sayaka dan Kyoko, sepertinya dua anak itu membicarakanku
diam-diam. Dan berhenti ketika aku hampir sampai pada mereka.
“Ada apa?”
tanyaku yang sedikit penasaran.
“Kau beruntung
bisa berbicara dengan Kaneki, meskipun dia populer tapi tak ada wanita yang
bisa mengobrol dengannya kecuali Aoi. Lagi pula kalian menggunakan bahasa apa
tadi? Sepertinya hanya kalian yang tau?”
“Oh, kami
menggunakan bahasa Indonesia. Tunggu, aku baru menyadarinya. Bagaimana bisa dia
berbahasa Indonesia?” tanyaku pada diri sendiri namun nyatanya aku berhasil
melontarkannya pada mereka.
“Bagaimana ku
tahu.” Jawab keduanya sambil mengangkat tangan bukti mereka tidak tahu.
Kaneki
benar-benar telah mengundang banyak tanda tanya, aku semakin tertarik akan
rahasia-rahasianya. Kepopulerannya jelas saja, dia memiliki wajah yang tampan,
tinggi nya ideal dan bisa dibilang menyaingi aktor-aktor tampan Jepang.
Hari ini Papa
tidak bisa menjemputku karena urusan di kantornya. Entah kenapa rasanya sulit
membawa sendiri kendaraan pribadi jika melihat warga sekitar yang jarang menggunakannya.
Kebanyakan dari mereka lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibanding
kendaraan pribadi oleh karena itu aku merasa malu dan lebih memilih menggunakan
kendaraan umum bersama teman-teman dibanding membawa sepeda motor yang
tersimpan di garasi.
Bus yang
menuju kerumahku telah datang. Aku beserta teman-teman yang lain segera menaiki
bus itu meskipun rasanya masih betah tinggal di sekolah. Entah mengapa tapi
sepertinya ada sesuatu di sekolah yang membuatku merasa betah. Sesekali aku
memandangi sekolah sebelum bus benar-benar pergi. Ketika aku menerawang jauh
kesana, mataku tertuju pada sosok Kaneki yang berada di pintu utama sekolah.
Disebelahnya, tentu ada Aoi yang setia menggandengnya kemanapun ia pergi.
Meskipun begitu pandangan Kaneki tepat menuju kearahku, untuk memastikan aku
melihat sekeliling dan tak ada orang lain disana. Sesaat sebelum bus
benar-benar pergi aku bersumpah melihatnya tersenyum. Senyuman yang membuatku
benar-benar tak bisa berkutik.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
Dream in Tokyo ' Part 3
Hari telah
berlalu begitu cepat, setidaknya bayanganku soal Tommy sudah mulai memudar, ia
mungkin tidak tahu bagaimana cara menghubungiku dan mungkin juga ia sudah
benar-benar lupa akan diriku dan menggatikannya dengan Vreya.
Begitu sampai
di pintu gerbang, rasanya sedikit gugup. Beberapa gadis perempuan menyapaku
terlebih dahulu, mungkin karena aku terlihat ‘baru’ dimata mereka. Aku coba
berbaur diantara mereka dengan bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris.
Sepertinya
beberapa bulan disini akan membuatku lupa bagaimana caranya bersifat sinis. Bagaimana
tidak, setiap kali berpapasan dengan siswa lain aku terus menerus tersenyum dan
membungkukan badanku, tapi entah mengapa sepertinya itu terapi yang dapat
mengubah diriku ke masa-masa dulu sebelum hal ‘itu’ terjadi.
Aku mulai masuk kelas pertama, seperti
layaknya sebuah tradisi aku berdiri didepan kelas untuk memperkenalkan diri,
tatapan seluruh siswa disana semuanya sama, namun hanya ada satu yang
benar-benar menusuk tepat ke arahku. Benar, dia adalah pria yang menabrakku 2x
kemarin. Mengapa dia harus ada disini? Mengapa harus sekelas denganku?
Seolah-olah dunia ini sangat sempit.
Fujiko sensei (sensei; orang
yang dihormati) mempersilahkanku duduk, tepat didepan pria asing itu.
Benar-benar menyebalkan, kenapa harus disana kursi yang kosong? Aku merapikan
catatanku, sebisa mungkin lebih beradaptasi dengan suasana kelas di Jepang.
Tidak banyak berubah dari sekolahku dulu, hanya saja disini terasa lebih
dingin, terlebih posisiku saat ini tepat dipinggir jendela besar yang dipenuhi
embun di seluruh permukannya.
“Ternyata kau
masih sekolah? Bagaimana dengan om yang kemarin?” Seseorang dari belakang
berbicara dalam bahasa Indonesia, mendongakkan kepalanya tepat kepinggir
badanku.
“Kaneki-kun!”
tampaknya Fujiko-sensei telah memperingatkannya karena kelas benar-benar telah
dimulai. “Haii..” suara pria itu terdengar sedikit kesal. Aku coba mengikuti
pelajaran dengan cukup baik, entah mengapa rasanya disini benar-benar membuatku
lebih baik. Dan satu hal lagi, nama pria itu adalah Kaneki.
Awalnya aku
kira disini hanya tempat untuk melampiaskan kekesalanku, namun setelah
dijalanai, aku mulai merasa seperti air yang mengalir, tenang dan tidak
tenggelam. Lebih nyaman dari yang kubayangkan.
“Bagaimana
hari pertamamu di sekolah Rifka? Apakah menyenangkan?” Tanya Papa berantusias
sambil membukakan pintu mobilnya agar aku segera masuk.
“Hmm, tentu.
Tapi pa, apa kau tahu? Orang yang memanggilmu om ternyata sekelas denganku.”
“Lalu
bagaimana?”
Aku bercerita
banyak pada Papa tentang hari ini, entah mengapa aku jadi banyak bicara.
Tunggu, sepertinya otakku benar-benar mengalami kesalahan. Tapi entah mengapa
aku menyukainya. Suasana baru memang dapat merubah segalanya.
***
Keesokan
harinya aku memulai hari-hari normalku lagi, beberapa teman wanita yang kemarin
mendatangiku secara bersamaan kali ini mereka melakukannya lagi. Tentunya aku
sama sekali tidak ingat nama mereka. Nama-nama dari bahasa Jepang memang sulit
untuk aku ingat, untungnya tanpa diberi aba-aba mereka coba perkenalkan diri
mereka masing-masing lagi.
“Kaneki,
chotto.” (Chotto; tunggu)
Gadis yang
sama ketika aku keluar dari kedai berlari mengejar Kaneki, ketika tepat
dihadapanku ia berhenti seolah aku adalah ranjau berduri yang membuatnya
berhenti tak meneruskan langkahnya.
“Omae.” (Omae;
kamu) gadis itu menunjuk-nunjukan jarinya tepat kearahku dengan berusaha
menyatukan kedua alisnya yang terpisah, tak lama ia menurunkan lengannya,
menghilangkan kerutan di keningnya lalu kembali mengejar pria yang kemungkinan besar
adalah Kaneki.
“Apa kalian
mengenalnya? Maksudku gadis itu?” Aku coba bertanya pada teman-teman baruku.
“Ya, tentu.
Dia adalah anak dari pemilik sekolah ini. Meskipun begitu dia sangat manja
terlebih pada Kaneki. Namanya Aoi
Fukawa.”
“Bagaimana
dengan Kaneki?” aku coba menanyakan hal yang sepertinya tidak perlu.
“Kaneki itu
memiliki silsilah keluarga yang rumit, dia memiliki 2 Ayah. Orang-orang tidak
banyak tahu mengenai cerita keluarganya. Mereka cenderung menutup nutupinya,
tapi sepertinya Ibu Kaneki benar-benar hebat memiliki 2 suami sekaligus.” (Baca
Futago) Jelas Sayaka
“Benarkah itu?”
tanyaku yang sangat penasaran mengenai cerita kehidupannya.
“Tentu.” Jawab Kyoko singkat.
Gadis berkaca mata itu semakin mempertegas penyataan Sayaka.
Sepertinya
cerita itu memang benar adanya, kalau benar-benar itu terjadi sepertinya dia
lebih beruntung. Andai orang tuaku tidak bercerai layaknya orangtua Kaneki, dan
setidaknya aku bisa seolah-olah tidak merasakan adanya Randi dalam kehidupanku.
Bel masuk
telah berbunyi, hari ini dipelajaran pertama adalah olahraga. Dengan semangat
’45 aku menuju gedung olahraga bersama Sayaka, Kyoko dan yang lainnya. Entah
mengapa setibanya di ruang olahraga aku baru sadar bahwa aku tidak memiliki
kemampuan apapun dibidang olahraga. Langkah kakiku yang riang, begitu tiba
disana lebih kaku dari biasanya, entah itu dingin karena cuaca yang tak
bersahabat atau aku baru sadar aku benar-benar tidak pandai olahraga?
Matsuda-sensei meneriaki namaku dan
Kaneki untuk bertugas piket di minggu ini, membawa bola di gudang
belakang gedung olahraga. Sial, kenapa harus Kaneki? Aku tidak ingin ada
percakapan yang membuatku terlihat konyol dengannya.
“Rifka, Can
you hear me?” Matsuda sensei berteriak lebih kencang
“Haii, haii.”
Tanpa sadar aku ikut-ikutan berbicara bahasa Jepang.
Aku membuntuti
Kaneki dari belakang, entah kenapa raut mukanya kali ini terlihat lebih dingin,
dan satu hal lagi. Ia sama sekali tidak membahas tentang Papa.
Begitu keluar
dari gedung olahraga rasa dinginnya semakin terasa menusuk. Meskipun begitu
Kaneki tidak terlihat menggigil. Ia sama sekali tidak banyak bicara bahkan ia
sepertinya tidak menyadari keberadaanku yang sedari tadi ada di sebelahnya.
Bahkan ia hampir membawa troli besi berisi bola basket sendirian. Sedikit heran
atas tingkah lakunya, namun sepertinya ia sedang mengalami masalah yang cukup
besar.
Tumpukan salju
menghiasi sepanjang koridor menuju gedung olahraga. Seraya membawa troli besi
berisi bola basket, aku mengagumi gumpalan kapas putih yang sebagian bertebaran
sebagian lagi telah menumpuk. Tadi pagi belum ada salju turun, dan ini pertama
kalinya aku melihat salju. Benar-benar mengagumkan.
Rasa kagumku
berhenti ketika harus berbelok menuju gedung olahraga. Hingga tiba disana,
Kaneki sama sekali tidak berbicara padaku. Pandangannya kosong, aku semakin
penasaran dengan apa yang dipikirkannya. Terasa aneh ketika biasanya ia
mengejekku tiba-tiba diam membisu.
Aku mengikuti
teman-teman lain yang tengah melakukan pemanasan, meskipun aku tidak tahu untuk
apa melakukan pemanasan, toh pada akhirnya aku lebih memilih ijin berdiam diri
dibanding melukai teman-temanku karena permainanku yang payah.
Mataku tetap
tertuju pada Kaneki, sesekali ia tersenyum tapi senyumnya seperti hambar.
Mungkinkah ia mengalami masalah dirumahnya? Jika itu yang terjadi aku akan
sangat khawatir padanya, karena aku sendiri sempat mengalami hal menyedihkan
itu.
Peluit tanda
permainan telah dimulai. Ketika aku akan menjelaskan situasinya pada Matsuda
sensei, sebuah bola basket meluncur tepat kearahku. Seperti biasa, sulit sekali
untuk menghindarinya, kakiku terasa benar-benar kaku apalagi mungkin rasa
dingin yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ketika aku sudah menutup mata
dan menunggu hantaman bola, tiba-tiba lenganku dicengkram dengan erat.
Cengkraman ini rasanya sudah pernah aku dapatkan.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
Dream in Tokyo ` Part 2
Akhirnya
aku tiba di salah satu bandara setelah beberapa jam berada diatas langit. Ini pertama kalinya aku
menginjakan kaki di Jepang. Bandara Haneda ini merupakan lokasi pertama sebagai tempat pelarianku. Meskipun Papa warga negara asli Jepang, namun ini
pengalaman pertamaku setelah 17tahun lahir ke dunia. Setelah beberapa meter
berjalan menjauh dari pesawat seseorang bertubuh tinggi dengan badan yang cukup
kekar menabrakku dengan cukup kencang.
“Aduh.”
Teriakku cukup kencang, dia menabrakku hingga duduk dilantai.
“Ahh ano, tsumimasen.” (tsumimasen; maaf) dengan sigap ia kembali membantuku merapikan
barang-barang yang sedikit berceceran. Selagi merapikan barangku, tak sengaja
aku menatap matanya. Tidak seperti orang Jepang kebanyakan, meskipun aku tahu
sepertinya ia penduduk asli di Jepang dari caranya berbicara. Aku tidak bisa
berkata apa-apa karena sama sekali tidak bisa berbahasa Jepang. Setelah selesai
dia membantuku berdiri, kami sama-sama berdiri dan akhirnya aku tahu tingginya
kurang lebih 10senti lebih tinggi dibandingku yang hanya 162senti, kemudian ia
mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Jepang dan dengan cepat ia berlalu.
Aku berdiri
perlahan, rasanya kakiku sedikit terkilir. Belum apa-apa aku sudah diberi
kenangan buruk oleh warga Jepang. Benar-benar menyebalkan. Ketika tengah
merasakan rasa sakit yang mulai menjalar, seorang wanita menghampiriku dan coba
menekan pergelangan kakiku dengan hati-hati. Ajaibnya kakiku perlahan tidak
terasa sakit, wanita itu kembali berdiri kemudian tersenyum dan menghilang
setelah beberapa saat.
Sedikit heran
tapi rasanya kakiku benar-benar bisa digerakan lagi. Syukurlah. Aku kembali
berjalan-jalan mencari Papa yang sudah berencana untuk menjemputku. Sedikit
khawatir melihat orang-orang yang memiliki wajah yang mirip dengan Papa. Namun
kekhawatiranku akhirnya terpecahkan.
Seorang pria
melambai-lambai tepat kearahku. “Rifka..” dan dia juga memanggil namaku. Yah,
itu papa. Meskipun papa orang Jepang asli tapi aku sama sekali tidak
diperbolehkan belajar Bahasa Jepang oleh Mama, entah apa alasannya yang jelas
itu sedikit mempersulitku tadi, tapi syukurlah berkat adanya Papa kesulitanku
sedikit berkurang.
Papa
menyambutku dengan riang, sebenarnya bisa dibilang papa lebih mengerti
dibanding Mama. Setelah perubahanku yang cukup drastis, yang pertama
menyadarinya adalah Papa. Dia tampak lebih terpukul begitu sadar aku telah
berubah dan terus menerus menyalahkan dirinya, akhirnya setelah rasa kasihan
pada Papa mulai merasuki pikiranku, dibantu dengan Tommy yang perlahan
menyadarkanku, akhirnya perlahan kutinggalkan kebiasaan burukku meski tak
sepenuhnya aku tinggalkan.
“Rifka kenapa
kau lama sekali? Papa menunggumu dari tadi.”
“Maaf Pa, tadi
ada orang sialan yang menabrakku dengan cukup kencang.”
“Siapa nak?”
Papa bertingkah seolah akan benar-benar menghabisi orang yang menabrakku tadi.
“Sudahlah,
lupakan Pa. Aku sudah lelah, bisakah kita pulang sekarang?”
“Baiklah, tapi
sebelum itu kita makan malam dulu.” Papa menggandeng tanganku seolah aku adalah
kekasihnya. Umur Papa memang tak lagi muda, namun dilihat dari penampilan dan
wajahnya, bisa dibilang tidak berbeda jauh denganku. Hanya saja dia berkumis.
Kami tiba di
sebuah kedai di dekat bandara, meskipun hanya kedai biasa tapi cukup rapi dan
bersih. Kami membeli sup miso disana, meskipun kelihatannya lidahku belum bisa
beradaptasi namun cita rasanya yang menggairahkan membuatku dapat menghabiskan
semangkuk sup miso tak bersisa. Papa sesekali melirikku, namun aku tak
menghiraukannya. Rasanya ini menjadi poin pertama untuk kedatanganku di Jepang.
Setelah cukup
mengganjal perut, akhirnya kami bergegas pulang namun saat kami hendak keluar,
seorang pria kembali menabrakku.
“Aw sialan,
ini kedua kalinya dalam sehari.” Tak sadar aku mengekspresikan kekesalanku
dengan cukup keras. Papa dengan sigap membantuku berdiri, pria yang menabrakku
kali ini, tunggu, dia orang yang sama yang telah menabrakku di bandara. Sialan,
orang ini sepertinya benar-benar cari mati.
“Maaf, aku
benar-benar tidak sengaja. Kali ini pun tidak sengaja” Pria tadi sepertinya
mengenaliku, orang yang ditabraknya saat di bandara. Dan kali ini dia fasih
berbahasa Indonesia.
Papa tiba-tiba
memotong “Sepertinya dia tidak apa-apa.” Pandangan pria itu beralih memandangi
Papa, raut mukanya sedikit berubah dari cemas menjadi sedikit marah. Meskipun
bukan ahli tebak fikiran tapi aku dapat memprediksinya. Tunggu, marah? Kenapa?
“Hei, kamu
sebaiknya ikut denganku. Kau tidak boleh sembarangan ikut dengan pria asing
ini. Berbahaya tiba-tiba berkenalan dengan om ini.” ucap orang asing itu pada Papa. Saat ini tangannya
menggenggam tanganku. Sesekali aku melihat raut muka Papa yang tampak jengkel,
tapi aku benar-benar menikmati adegan ini. Benar-benar konyol.
Saat menikmati
adegan itu, mataku berpaling pada wanita yang sedari tadi menemani pria itu, ia
tampak sedikit kesal dan juga bingung karena adegan ini diperankan dalam bahasa
Indonesia. Tunggu, ini sepertinya adegan dalam opera sabun. Aku tak kuasa
menahan tawa dan akhirnya aku berhasil meluapkannya. Dengan cepat aku
melepaskan genggaman pria tak dikenal tadi dan mendekat kearah Papa, dengan
menarik lengan Papa aku berlalu sambil mengucapkan “Memangnya apa pedulimu?”
Kami akhirnya berlalu meninggalkan pria tak dikenal itu, meskipun sebenarnya
aku benar-benar masih ingin mempermainkan Papa.
Kami memasuki
mobil, sepertinya Papa masih merasa kesal atas apa yang diucapkan pria asing
tadi. Tapi dengan segera aku mencari topik baru.
“Papa, aku
tidak bisa berbahasa Jepang, bagaimana aku sekolah nanti?”
“Tenang saja,
Papa sudah dapatkan sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa standar,
aku tahu bahasa Inggrismu selalu diatas rata-rata bukan?”
“Tentu saja.”
“Kau akan
mulai masuk kapan? Besok?”
“Oke, aku
sudah tidak sabar menantikannya Pa!”
Aku menikmati
perjalanan malam di kota Tokyo, sepertinya semakin malam bukannya semakin sepi,
malah semakin ramai. Sepertinya tinggal disini akan menyenangkan.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'
Dream in Tokyo ` Part1
Angin sore kali ini terasa lebih
dingin, mungkin karena beberapa jam yang lalu hujan menyapu sekitar rumahku.
Perlu waktu beberapa saat untuk bangun, hingga akhirnya aku benar-benar duduk
diatas tempat tidur yang terasa lebih lengket dari biasanya. Aku memandangi jam
dinding yang menggantung tepat di sebrang tempat tidurku. Pukul 3, sebentar
lagi aku harus benar-benar berangkat.
Aku
menurunkan kakiku perlahan hingga menyentuh lantai yang sigap menopang tubuhku
yang lebih berat akhir-akhir ini. Mungkin karena terlalu banyak memikirkan
hal-hal yang tidak perlu, akhirnya aku melampiaskannya dengan memakan cemilan
yang tersedia dalam kulkas, dan efek yang dihasilkannya, jelas tubuhku lebih
berat dari biasanya.
Perlahan-lahan
aku berjalan menjauh dari kamarku yang sebentar lagi takkan kuhuni lagi.
Rasanya sedikit berat untuk melangkahkan kaki dan bersiap-siap pergi. Disini
aku telah hidup selama 17 tahun, dalam sekejap aku harus pergi, dan kemungkinan besar takkan kembali. Dengan
langkah gontai aku berusaha menyembunyikan rasa malasku dan bersiap-siap pergi.
Satu
persatu ku turuni anak tangga yang menghubungkan kamarku dengan ruang keluarga.
Sekilas aku melihat kearah dapur karena suara yang ditimbulkannya. Mama sedang
memasak. Entah apa yang kali ini ia buat, makanan perpisahan mungkin?
“Ah
Rifka, kau sudah bangun? Sebentar lagi masakannya selesai. Kau bisa mandi
sambil menunggu.” Seolah tak menghiraukannya, aku bergegas memasuki kamar mandi
sesegera mungkin. Airnya terasa lebih dingin dari biasanya, setidaknya cukup
untuk membangunkanku.
Setelah
selesai aku kembali ke kamar dan memilih baju mana yang harus ku pakai,
akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan kaus biru dan celana jeans pendek
dengan beberapa robekan di ujungnya. Aku ingat, waktu itu aku sengaja
merobeknya ketika frustasi mendengar perceraian kedua orang tuaku tahun lalu.
Pakaianku dulu semuanya terlihat normal hingga hal itu terjadi. Ingin sekali
melupakan kejadiaan yang tak seharusnya terjadi dengan pergi bersama
teman-teman, namun ketika aku coba bergabung, semuanya menertawakanku. Kaos
yang kebesaran dan celana panjang sepertinya menjadi bahan lelucon untuk
mereka, dan tanpa pikir panjang aku merobeknya tepat didepan mereka dan
akhirnya aku bisa diterima. Ketika sampai dirumah, tak satupun dari mereka yang
benar-benar melihatku, akhirnya aku melakukan hal itu setiap hari. Rasanya
sedikit rindu mendengar mereka memarahiku namun hal itu takkan pernah terjadi
lagi.
Tiba-tiba
suara handphone mengaburkan ingatanku yang tengah kembali ke masa lalu. Sebuah
pesan masuk dari Tommy. Aku melihatnya sekilas dan kembali melemparkan benda
itu ke tempatnya semula. Setelah semuanya siap aku bergegas menuju mobil yang
terparkir di halaman rumah dan memasukan semua barang-barang yang sudah aku
kemas.
“Rifka,
sebelum pergi kau harus makan dulu. Mama sudah menyiapkannya untukmu.” Dari
mulut pintu terlihat Mama berteriak semangat layaknya tim chearleader di
sekolah. Entah harus aku abaikan permintaannya kali ini atau aku menurutinya,
itu menjadi dilema yang cukup besar. Entah mengapa bisikan untuk kembali dan
menyantap sedikit makanan yang telah Mama buat, merupakan keputusan yang kurasa
harus diambil.
Dengan
enggan aku melangkahkan kaki kedalam rumah untuk menyantap makanannya. Selama
makan tidak ada percakapan yang cukup berarti. Aku lebih banyak mengangguk dan
menggelengkan kepala hingga akhirnya aku sadar makanan yang ada telah
menghilang begitu saja. Setelah dirasa cukup, akhirnya aku kembali ke arah mobil yang sedari tadi setia
menungguku dan bergegas memasukinya.
Mama
memulai percakapan sambil menarik sabuk pengaman yang ada di pundaknya. “Apa
kau benar-benar ingin pergi?”. Pertanyaan itu lebih sering terdengar
akhir-akhir ini, dengan lantang aku menjawab “Tentu Ma. Aku benar-benar ingin
tinggal disana bersama Papa.” Dengan tatapan yang sedikit khawatir akhirnya
Mama mengangguk perlahan. “Baiklah kalau begitu, aku percaya kau akan baik-baik
saja bersama Takao”
Mama
mengantarkanku ke bandara, ia berada dibalik kemudi sedangkan aku berada
disampingnya. Jendela mobil kubiarkan terbuka, agar untuk terakhir kalinya aku
menghirup udara di Bandung ini. Sesekali aku mengeluarkan tanganku dan coba
meraih sesuatu yang tak pernah bisa ku genggam.
Setelah
beberapa jam melalui perjalanan akhirnya aku tiba di bandara, pertanyaan yang
sama Mama lontarkan kembali.
“Ini
yang terakhir sebelum kau pergi. Benarkan kau yakin ingin tinggal bersama
Papa?”
“Emm,
aku ingin coba sesuatu yang baru, rasanya sudah bosan melakukan hal yang sama
setiap saat.”
“Bagaimana
dengan Tommy? Bukankah kalian sudah berteman sejak kecil? Mungkin dia akan
sangat merasa kehilangan”
Salah
satu alasanku untuk pergi adalah karena dia. Tommy, orang yang paling lama
menghabiskan waktu denganku benar-benar
membuatku kecewa. Aku melihatnya menggandeng sahabatku sendiri, Vreya. Aku
sedikit menjauh dari mereka berdua dan ketika Tommy benar-benar mendesakku
akhirnya aku buka mulut mengenai janji kami sewaktu masih kecil. Kami telah
berjanji untuk menikah suatu saat nanti, namun nyatanya ia benar-benar
mengkhianati janji yang kami buat dengan alasan “Itu hanya omong kosong, kita
membuatnya saat masih kecil sebelum aku tahu apa artinya semua itu.” Kata-kata
itu yang selalu memberikan dorongan agar aku pergi dan bisa melupakannya.
“Rifka?”
Ibu benar-benar membangunkanku dari lamunan kelam, entah mengapa akhir-akhir
ini aku lebih sering melamun.
“Bu..
bukan, bukan karena itu.”
“Maksudmu
nak?” Mama tampak heran dengan jawaban yang begitu saja terlontar dari mulutku.
“Oh,
tadi mama bilang apa?” Aku coba mengulangi pertanyaannya.
“Sudahlah
lupakan, Rifka maafkan mama karena tidak bisa mengantarmu hingga Tokyo. Mama
harus bergegas menyiapkan Randi makan malam, sepertinya dia akan sangat
kelelahan hari ini.”
“Tidak
apa-apa Ma, aku bisa sendiri.”
Alasan
kedua untukku pergi adalah karena kehadiran Randi. Bukan, maksudku Ayah tiriku
yang beberapa hari ini telah tinggal bersama kami. Itu yang menjadi alasan
keduaku untuk benar-benar pergi meninggalkan Bandung.
Langit
berwarna kuning keemasan, sedikit lebih hangat dibanding saat dirumah. Akhirnya
dengan latar seperti inilah aku harus berpisah dengan Mama dan berharap
kehidupan disana akan jauh lebih berbeda dibanding dengan keadaan disini. Aku
melambaikan tangan dan satu persatu menaiki tangga yang mengarah kedalam
pesawat. Semoga penerbangannya menyenangkan.
***JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTARNYA***
DIBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN
DARI PEMBACA SEKALIAN
`Arigatou'